Posisi mereka kini, Vano berhadapan dengan Reina sementara Alan berhadapan dengan Ana yang saat ini memakai syal di lehernya.
"Lo sakit?" tanya Alan penasaran.
"Yaelah Lan, lo nggak lihat, tuh wajahnya pucat banget kayak mayat hidup," celetuk Vano
"Lo beneran sakit, Na?" Wajah Alan terlihat khawatir.
"Nggak apa-apa, kok, tadi juga udah minum obat. Vano saja yang lebay." Ana melotot ke Vano, yang hanya dibalas decakan oleh cowok itu.
"Gara-gara gue kemarin, ya?" Alan merasa bersalah.
"Bukan, ngapain gara gara kamu," elak Ana menyangkal. Wajahnya kini memerah.
"Gue minta maaf soal kemarin." Alan menyesal.
"Aku bilang bukan gara-gara– hastyii!" Ana tiba-tiba bersin.
"Ana, kamu nggak apa-apa?" Reina yang duduk di sebelahnya ikut khawatir.
Ana mengangguk, "Udah nggak usah khawatirin aku. Hari ini kita selidiki kasus Reina."
Reina merasa tidak enak hati. Karena dirinya, mereka semua jadi susah.
Vano yang sudah lebih dulu membuka laptop, mulai memeriksa jaringan di sekitar tempat itu. Beruntung ada wifi yang bisa mendukung.
"Jadi mau dimulai dari mana?" tanya Alan yang sesekali memerhatikan sekitarnya.
"Lihat guys, gue nemuin sesuatu!" Vano memerlihatkan CCTV kafe.
"Wah, kamu jenius," puji Ana. "Bagaiman melakukannya? Terlebih dalam waktu sesingkat itu."
"Gue udah pernah meretas tempat ini dulu, jadi masuk lagi ke sistem mereka nggak perlu waktu lama. Lagipula tingkat keamanannya nggak ketat."
Reina sedikit terperangah mendengar penjelasan panjang Vano. Ana yang menyadari tingkah gadis pendiam itu, hanya menahan senyum.
"Kejadian waktu Reina ke sini itu dua hari yang lalu, coba cek CCTV di hari itu." Ini perintah si anak kepala sekolah.
Vano meliriknya dengan tidak suka, tapi tetap melaksanakan juga. Jemarinya kini menari cepat di atas keyboard. Semua pasang mata menanti dengan harap cemas.
"Bukan yang itu, Bego. Yang ini." Alan menunjuk layar laptop dengan tidak sabarnya.
Vano memukul tangan Alan yang menghalangi pandangannya. "Menyingkir, sebelum gue patahin tangan lo."
Alan mendecak kesal, dia sedikit menjauh dan kini menyesap jus alpukatnya.
"Ini rekaman pada hari itu." Suara Vano membuat dua gadis memajukan badan dan mendekat untuk menyaksikan layar laptop. Alan ikut nimbrung dan memerhatikan dengan saksama.
"Jam berapa kamu ke kafe ini Rein?" tanya Ana, walau fokusnya masih ke laptop.
"Sore."
Semua mata kini melihat wajah datar Reina, seolah satu kalimatnya barusan adalah hal terwajar di dunia. Vano lebih dulu tertawa ngakak, tanpa sadar mengacak rambut gadis itu dengan gemas. Alan dan ana menyusul tawa belakangan, tidak seheboh Vano tentunya.
"Irit ngomong nggak bikin kaya, Rein," ujar Vano setelah menenangkan tawa.
"Tapi itulah Reina. Unik," kata Ana pula.
"Beneran deh, Rein, lo perlu terapi ngomong sama si Pendek ini," tunjuk Alan ke Ana.
Ana menggembungkan pipi. "Oke, cukup! Kembali fokus." Dia menatap Reina sekarang. "Ada perkiraan waktu di jam berapa kamu ke sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [COMPLETED]
Teen FictionDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...