"Kamu akan ninggalin aku?"
Alan mengeraskan rahang, mengepalkan tangan. Menarik napas, ia hendak mengatakan 'hemm..' nya yang kesekian tapi saat berbalik menghadap Ana, keteguhannya runtuh.
Ana menggigit bibir bawahnya, menahan isakan tangis meski tak mampu menahan air mata. Wajahnya yang berkeringat dan berantakan bercamour air mata, sungguh bukan Ana yang ceria dan penuh semangat seperti yang Alan tahu. Sebelum Alan bahkan mampu mencerna yang harus ia katakan untuk membuat Ana menyerah, tangannya sudah lebih dulu menarik pergelangan Ana dan membawa gadis itu ke pelukannya.
Ana malah terisak dan sesenggukan saat Alan memeluknya. Ia mencengkeram kuat bagian belakang kemeja Alan, memejamkan mata dalam dekapan lelaki itu.
"Jangan pergi... Jangan pergi..." kata Ana berulang kali dengan tangisannya yang menyayat hati Alan.
Tak ada yang mampu dilakukan Alan selain semakin mendekap Ana.
"Kita akan pikirkan jalan keluarnya ... jadi, jangan pergi... Kamu tahu aku ini jenius, kan, jadi ... jangan pergi... Aku akan... melindungi Reina... juga mengungkap ... kematian Reihan ... kamu nggak ... perlu pergi... Jangan pergi," celoteh Ana di sela sesenggukannya karena tangis, masih dalam dekapan Alan.
Tak ada yang bisa Alan lakukan selain mendekap gadis itu untuk menenangkannya. Jujur ia juga berat harus meninggalkan Ana.
"Jangan pergi, Lan. Kamu boleh kok marahin aku. Boleh jitak kepala aku, aku nggak akan marah. Aku nggak akan bales, tapi aku mohon... jangan pergi!" Ana sesenggukan tak dapat membendun kesedihannya. Biarkan saja Alan akan menganggapnya cengeng.
Alan mengusap-usap kepala Ana. "Gue juga nggak mau ninggalin lo, Na!" Alan pun mendekap gadis itu erat.
Beberapa menit Alan membiarkan Ana menangis, sampai sedikit lega, ia mendudukkan gadis itu di tepi kasur. Canggung. Beberapa menit berlalu tanpa ada yang buka suara. Tak tahan diam, Alan yang sedari tadi lirik-lirik Ana, mulai bicara.
"Apa lo yang punya ide pakai geng motor itu?" tebak Alan.
Ana menoleh ke kanan, memgangguk pelan. "Memangnya kamu pikir otak dangkal Vano bisa mikir sampai ke sana?"
Alan tertawa kecil. Tersenyum kala melirik gadis pendek di sebelahnya. Ia memikirkan semalaman untuk memutuskan pergi ke luar negeri demi menyelamatkan Reina dan teman-temannya dari ancaman sang ayah, bahkan mengubur mimpinya menjadi atlet lari. Ia juga memikirkan tindakannya seandainya bertemu salah satu temannya yang menanyakan kepergiannya. Semua ia pikirkan matang-matang agar tak ada yang menghalangi kepergiannya, tapi Ana menghancurkannya hanya dalam sekejap dengan pertanyaan 'kamu akan ninggalin aku?' itu. Gadis itu selalu sukses membuat Alan tersenyum.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Ana.
Alan berdeham, menutupi canggung. "Enggak apa-apa, tadi keingetnya ada cewek yang cengeng banget kayak anak kecil. Malah ingusnya meler-meler lagi ngotorin kemejaku."
"Alan!" teriak Ana, langsung melempar pakaian dari koper ke wajah Alan untuk menghentikan ejekan lelaki itu.
"Hahaha... Ana mesum ih, pegang-pegang pakaian dalam gue."
"Apanya yang—" Ana sontak mengangkat tangannya ketika tanpa sadar memegang celana pendek Alan yang belum sempat ia lemparkan. Mulut Ana terbuka, seketika ia berdiri, hendak keluar. "Alan nyebelin."
"Ehh..." Alan menahan Ana yang mencoba membuka pintu. "Jangan keluar dulu. Papa baru pulang."
Senyum Ana menghilang.
"Jangan khawatir, gue akan bilang sama Papa untuk nggak ngirim gue ke luar negeri."
"Kamu yakin bisa yakinin papa kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [COMPLETED]
JugendliteraturDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...