Cadillac berwarna putih membawa gue menyusuri jalanan di pagi hari. Seorang dokter yang kini tengah menjadi residen bedah di sebuah rumah sakit itu menjalankan mobilnya dengan tenang. Untungnya kemacetan jalan masih bisa dilalui, meski harus beberapa kali si pengemudi membunyikan klaksonnya.
Butuh sekitar 20 menit untuk mobil yang di kendarai si dokter tampan tersebut sampai ke tujuan pertama—kantor tempat gue bekerja. Dan ketika sampai dia langsung menoleh ke arah gue, untuk mengucap sampai jumpa.
"See you," ujarnya lembut sambil membelai rambut gue pelan.
"Daah! Nanti bisa jemput?" tanya gue dengan antusias sambil menyunggingkan senyum lebar kepadanya.
Dandy si dokter tampan dengan hidung yang sempurna, rahang yang tegas, serta alis tebal itu terlihat berpikir.
"Kalau enggak bisa gak apa kok."
"Bisa," selanya denganya cepat kemudian dia menambahkan, "Nanti aku bisa izin sebentar."
Tapi gue nyaris enggak percaya. "Gausah. Nanti jadi bolak-balik." Daripada gue kecewa karena nungguin dia, lebih baik gue yang menolak.
Sebenarnya kecewa itu udah jadi temen gue sejak Dandy menjadi residen bedah. Beberapa kali gue dibuat kecewa olehnya. Mulai batalnya janji secara tiba-tiba, pesan-pesan singkat yang tak kunjung dibalas, panggilan telpon yang enggak diangkat.
Gue kecewa, tapi bisa apa?
Sibuk katanya. Dia beralasan seperti itu.
Tapi membalas pesan singkat buat kasih kabar kan enggak bakal memakan waktu 5 menit lamanya, kecuali kalau Dandy membalas dengan mengetik satu paragraf dengan 5 kalimat.
"Oke." Ada kecewa karena dia langsung setuju. Apakah itu pertanda kalau sebenarnya dia enggak bisa izin? Dan kalimatnya tadi dia katakan agar gue enggak kecewa?
Gue tersenyum kecut, namun segera membuang muka.
"Aku turun. See you Pak Dokter!" seru gue kemudian dengan wajah yang sudah lebih baik—seenggaknya gue gak pasang wajah masam.
"Refa," panggilnya lagi sebelum gue menutup pintu mobil.
"Maaf. Nanti sore aku ada janji sama dokter senior. Beliau mau minta tolong sesuatu." Akhirnya Dandy jujur.
"Iya," jawab gue dengan senyum terpaksa.
"Kamu enggak marah kan?"
"Kalau aku marah emang kamu mau batalin janji? Enggak kan?"
"Maaf," sesalnya.
"Enggak usah minta maaf. Lagian aku udah mulai terbiasa juga sama sibuknya kamu. Udah ya? Aku masuk dulu," pamit gue.
"Tunggu." Dandy mengehela nafas panjang.
"Waktu aku akhir-akhir banyak tersita sama kerjaan, aku maaf soal itu. Tapi aku nggak bermaksud buat mengabaikan kamu. Kamu ngerti kan?"
"Selama ini aku kurang pengertian sama kamu ya? Aku udah tahan-tahan dari kemarin but gladly hari ini jadi meluap. Aku itu capek nungguin kamu, capek jadi korbam php kamu. Yang paling bikin aku kesel, komunikasi kamu sama aku itu jelek banget!"
"Babe, we've been together for 3 years. Aku tau kamu marah."
"Nah itu ngerti, udah 3 tahun. Kurang sabar gimana aku? Udahlah nggak ada yang bisa kita lakuin selain bertahan."
"Mungkin masa resinden bakalan jadi masa tersibuk aku. Trust me, once I get everything done, kita bisa punya waktu kayak dulu lagi. Dokter senior aku ada project besar, kalau aku masuk ke dalemnya chance buat punya peluang karir yang bagus bakalan lebih mudah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior [1] : Finding Mr. Right
FanfictionCinta aja ternyata enggak cukup dalam sebuah hubungan. Secermerlang apapun karier juga ternyata enggak cukup kalau itu hanya untuk ajang pembuktian. Semuanya rumit bagi Sharefa Yushrin. Inginnya, sang kekasih selalu perhatian dan ada untuk dirinya...