25

12.3K 1.9K 126
                                    

Kemarin gue belum sempet cerita soal kejadian di cafe karena diajak ke apartemen Kak Jano. Gue pengen banget cerita sama Kak Jano soal Dandy. Tapi kalau gue cerita, ntar kesannya kayak apa-apa gue ngadu. Udah pasti ntar dikatain bocah lagi sama Kak Jano.

Belom lagi gue juga takut kalau dikira mulai goyah.

Faktanya, ya gue sedikit goyah.

Tapi gue keinget janji gue sama Kak Jano di mobil beberapa hari yang lalu. Katanya setelah keluar dari mobil, baik gue maupun Kak Jano gak boleh ragu-ragu lagi.

Jangan lupa juga, dulu habis keluar dari mobil kita janji gak ada Dandy di antara kita. Mau gue juga gitu. Tapi ini Dandynya muncul begini.

Kata-katanya bikin gue somehow ngerasa bersalah. Atau kah memang keputusan buat putus dari dia itu salah?

Gue kenal Dandy udah lama. Dan gue tau benar kalau kemarin dia enggak lagi main-main. Dia masih sayang sama gue, matanya bener-bener nunjukin betapa dia frustrasi dengan keadaan ini.

Lord, help me. This is really confusing. Gue mau sama Kak Jano, tapi di sisi lain gue masih mikirin Dandy. Gue enggak mau balik ke Dandy, tapi ada sesuatu hal lain yang bikin gue kepikiran. Apalagi kalau bukan perasaan bersalah gue?

Kak Jano pernah bilang, urusan gue sama Dandy kalau bisa jangan nyuruh Kak Jano ikutan. Bukannya apa-apa, takutnya Kak Jano, ntar jeleknya di gue karena terlalu berlindung sama dia. Gue itu harus bisa berdiri sendiri ngadepin mas mantan.

Kalian jangan salah paham, maksudnya Kak Jano baik. Dia peduli kok sama gue dan urusan tentang mantan ini. Tapi yang dia hindari itu adalah kalau kudu ikutan masuk ke dalam drama permantanan ini.

Bayangin nih semisal Kak Jano kemarin ikutan masuk ke café, udah pasti Dandy makin emosi. Dan enggak menutup kemungkinan mereka malah berujung ribut.

Kak Jano tuh mikirnya selalu sepuluh langkah didepan dibanding gue.

"Fa! Siapkan kertas folio."

Hah!

Baru dipikirin udah muncul aja.

Gue yang lagi bantuin ngetik replik langsung ngeliat kesumber suara. Kak Jano ngebuka pintu ruangannya dan jalan kearah gue.

"Lagi sibuk Kak," elak gue.

"Itu cuma ngetik, gak pakai mikir."

Gue ngedengus kesel, kemudian ngebuka laci meja dan ngambil folio bergaris. Gue nyetok banyak banget biar gausah ke keluar kantor beli folio.

"Gue besok mau ke Surabaya, mau konferesi. Makanya gue mau ninggalin tugas."

"Kak, tau gak biasanya nih kalau Dosen gak ada tuh mahasiswa nya bebas."

"Itu namanya gak professional."

"Kalau Kakak gak berperi kemahasiswaan," balas gue.

"Tapi lo bukan mahasiswa lagi ya."

"Lagian gue bukan dosen," lanjutnya sambil memasang wajah menyebalkan.

"Bukan mahasiswa tapi tugasnya ngalahin mahasiswa," sindir gue sambil mengetuk-ngetukkan bolpoin.

"Buruan Jano! Itu replik gue harus diprint segera." Kak Jeni mengingatkan

"Yaudah deh ntar gue email lo harus ngapain selama gue gak ada."

"Emang konferesi berapa hari sih?" tanya Kak Jeni

"Tiga hari, tapi gue mau ada perlu juga, m" jawab Kak Jano yang masih berdiri di depan meja gue.

"Dadakan banget?" tanya gue, kemaren Kak Jano gak ada cerita soalnya.

"Iya, kebetulan asisten nya Pak Hendra gak bisa ikut. Jadi gue ditawarin."

***

Sebenernya gue tuh gak mau Kak Jano ikut konferesi. Ntar kalau ada apa-apa sama Dandy, makin susah kan gue bilangnya. Gue masih was-was banget sama Dandy, soalnya dia terus-terusan minta ketemu lagi. Creepy banget, lama-lama. Jadi kayak orang obses.

Jam sembilan malam, gue nganterin Kak Jano ke airport.

"Kak, bisa gak gausah pergi?"

"Tiba-tiba banget?"

"Kalau enggak, gue ikut gitu boleh gak sih?"

Kak Jano ngejitak pelan,"Tugas lo tuh kerjain."

"Emang sesuka itu ya lo sama gue? Baru juga mau ditinggal seminggu."

"Gak gitu kak."

"Terus?"

"Ya pokoknya pengen ikut."

"Dasar bocah. Gue pergi bukan mau traveling dek pacar."

"Bapak mau kerja ya nak, cari uang buat beli martabak."

Kesel dengernya.

"Ish!"

"Udah ah, gausah aneh-aneh lo."

"Tau fungsi hp lo buat apa?" tanyanya.

"Buat ngehubungin kakak."

"Enggak," jawabnya

"Terus?"

"Buat main cacing lah kalau bosen." Kak Jano tertawa keras.

"Gak lucu anjir," gumam gue yang masih ngeliatin Kak Jano ketawa.

"Hahaha, gue mau check in nih. Ada yang mau diomongin lagi gak nih?"

Gak ada jawaban dari gue selain tatapan memelas karena gak rela Kak Jano pergi.

"Hih!" Dia gemas kemudian menangkup wajah gue dan dia tekan-tekan selama beberapa detik.

"Enggak sampai seminggu Refa."

"Ada apa sih? Gak mungkin kalau gak ada apa-apa," todongnya.

Gue ngeleng.

"Yakin?"

"Tapi gue gak yakin," katanya pelan.

"Yaudah, kalau gak mau bilang. Ntar kalau ada apa-apa telpon aja."

"Hmmm," sahut gue.

"Cemberut aja? Gak mau senyum? Gue mau pergi ini lho."

"Yaudah sini peluk." Kak Jano kemudian meluk gue sambil mengusap punggung gue.

Beberapa detik kami terdiam, tanganku menarik pelan jacket bagian belakang milik Kak Jano dan wajah gue bersandar di dadanya. Gue berharap waktu bisa berhenti sekarang juga.

"Sedih kenapa?" tanyanya dengan nada yang halus.

Gue menggeleng dipelukannya. Tangan gue makin erat memeluk pinggangnya.

"Fa?" panggilnya.

"Aku beneran harus pamit. Kan kamu bisa hubungin lewat telpon atau chat?" bujuknya.

Gue melepas paksa pelukan gue, kemudian menarik nafas berat.

"Gak lama, oke?"

Kepala gue mengangguk pelan.

"Yaudah, aku pamit dulu. Bentar doang gak lama. Nanti kalau ada apa-apa bilang. Ngerti?"

"Kalau dibilangin senior yang lain nurut. Disuruh apa aja gausah banyak alesan. Oke?"

Gue cuma bisa nurut sambil melepas tangannya, kemudian menatap punggungnya yang menjauh. Kak Jano melambaikan tangannya sebelum dia benar-benar enggak kelihatan. Dia meninggalkan gue yang saat ini beneran gusar.

Dalam hati gue cuma berdoa agar gue bisa melewat hari-hari tanpa Kak Jano, yang katanya cuma sebentar. Gue juga berharap, sebentar versi dia enggak seperti versi Dandy.

Sebelum gue meninggal kan airport, sebuah chat singkat muncul di layar hp gue.

21.04
Senior ❤️

Take care baliknya.
You'll be fine love.
Kabarin aku kalau ada apa-apa
I'm yours 24/7


Seenggaknya pesan manis itu berhasil bikin gue senyum di perjalanan pulang.


Senior [1] : Finding Mr. RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang