Kenapa sih gue harus tiba-tiba drop?
Hari ini gue izin gak masuk kerja karena gue pusing banget. Berlebihan banget gak sih kalau gue mikirin Dandy sampai pusing begini?
Gue terlalu pusing mikirin hal-hal yang kata Kak Jano enggak penting. Dandy belum bereaksi lagi, tapi justru karena dia diem aja gue jadi takut. Pikiran gue beneran kacau sendiri, tapi gue akui kekacauan ini gue sendiri yang memulai.
Andai aja gue gak bilang kalau suka sama Kak Jano. Semuanya mungkin enggak rumit kayak gini. Gue sadar kalau mutusin buat bilang suka sama Kak Jano adalah keputusan yang terburu-buru, apalagi waktu itu gue baru sebulan putus.
Fix, gue emang udah gila. Gue anaknya gak suka nunggu-nunggu dan sifat itu kebawa juga kemarin. Akhirnya ya kayak sekarang ini. Putusnya gue sama Dandy belum beneran selesai, dan sekarang gue udah gandeng sama yang lain.
Semua kesalahan kayaknya bisa banget di lempar ke gue. Kalau bisa bikin pembelaan, boleh gak sih gue bilang kalau gue emang suka sama Kak Jano. Jadi kenapa enggak? Lagi pula Kak Jano juga enggak nolak gue?
Semisal di bantah dengan kalimat 'Kalian kecepetan', gue bakalan balas 'Emang gak boleh kalau kita ngutarain perasaan kita ke orang yang kita suka?'
Apalagi posisinya gue sama Kak Jano sama-sama nggak punya pacar. Harusnya nggak salah kan?
Apa malah salah? Salah karena terlalu cepet dan guenya kelihatan agresif banget?
Sakit kepala gue untungnya makin membaik. Sore ini kepala gue udah nggak terasa sakit lagi. Mungkin karena pengaruh obat dan gue tiduran terus sepanjang hari.
"Refa, kamu di cari tuh." Mama berjalan dari arah ruang tamu.
Perasaan gue gak tenang. Kalau yang dateng itu Dandy gimana? Gue belum siap buat ngomong apapun ke dia.
Kaki gue melangkah dengan ragu ke arah pintu utama rumah. Saat mengetahui seseorang yang berdiri dengan kemeja berwarna hitam itu adalah Kak Jano, bahu gue melemas lega, sambil membuang nafas lega.
Kak Jano menatap bingung. "Udah baikan?" tanyanya mendekat.
"Duduk Kak. Mau di luar atau di dalem?"
"Di luar aja," jawabnya.
"Kakak gak bilang mau ke sini dulu? Kaget banget tadi! Kirain siapa."
"Maunya siapa?" godanya.
"Ish!"
"Gimana udah baikan? Masih sakit?"
Gue menggeleng. "Udah baikan."
"Kemarin gue udah bilang kan? Gausah pikirin. Pasti semaleman lo mikirin mantan lo itu?"
Gue mengerucutkan bibir. "Ya gimana..."
"Wajar kalau lo masih mikirin dia, yang agak berlebihan itu adalah kalau lo sampai sakit."
Gue mengangguk dan enggak berani natap kearah dia.
"Kayaknya gue emang salah. Gue sekarang jadi bingung dan pusing sendiri. Semuanya gara-gara gue. Bahkan sampai bikin Kakak ngomong sama Dandy juga semalem. Rasanya kacau banget. Kenapa ya? Gue sukanya bikin orang lain susah?" kata gue panjang lebar dan masih enggan menatapnya.
"Sharefa Yushrin."
Denger Kak Jano manggil nama gue dengan lengkap bikin jantung gue gak karuan. Gue memberanikan diri menatapnya.
"Lo itu, enggak bisa di bilang salah juga. Tapi gue juga enggak bisa benerin apa yang udah terjadi."
Dahi gue mengeryit, sementara Kak Jano masih memasang ekspresi datar. "Yakin mau bahas ini sekarang?" Kak Jano memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior [1] : Finding Mr. Right
FanfictionCinta aja ternyata enggak cukup dalam sebuah hubungan. Secermerlang apapun karier juga ternyata enggak cukup kalau itu hanya untuk ajang pembuktian. Semuanya rumit bagi Sharefa Yushrin. Inginnya, sang kekasih selalu perhatian dan ada untuk dirinya...