34

11K 1.2K 79
                                    

"Udah cantik gitu, masih aja cemberut? Gak jadi aja gimana?"

Gue duduk di sebelah Kak Jano dengan raut muka yang masih bad mood. Kalau bukan karena ditungguin seharian sama cowok itu, gue sekarang lebih memilih tidur. Sebenarnya Kak Jano enggak ada maksa buat dateng, tapi gue gak enak aja soalnya dia tadi beneran nungguin gue tidur —yang sebenarnya enggak tidur, sampai jam makan siang. Udah gitu gue kelupaan kalau Kak Jano juga belum makan.

Akhirnya waktu ditanyain lagi mau tetep di stay di hotel atau ikut dia, gue jawab buat ikut. Lucu juga, Kak Jano dateng guenya enggak. Ya meskipun sebenernya gue bisa bodo amat. Toh meskipun gue enggak di sana, Kak Jano tetep bisa menyesuainkan diri.  Soalnya mode bunglon dia cepet banget berubahnya.

"Refa udah dateng? Tadi Shania sama Sandy udah dateng duluan." Tante gue menyapa sekaligus memberi informasi.

Little did I know, dua kakak gue itu jarang keliatan kalau enggak dalam acara besar seperti. Selain itu, mereka gak pernah keliatan, bahkan gue aja gak tau mereka sibuk ngapain.

"Kakak kamu?"

"Iya, jarang banget mereka kelihatan. Mereka cuma muncul kalau acara kayak gini doang. Di acara kumpul keluarga juga enggak pernah dateng."

Baru juga gue bicarain, dari arah kanan Shania kakak gue yang nomor satu berjalan mendekat dengan suaminya. Tatapannya selalu tegas, sejak dulu memang begitu. Gue memang enggak deket sedari kecil sama Shania, soalnya dia galak. Beda sama Sandy yang suka main sama gue sewaktu kecil.

"Papa nyariin kamu. Kamu emang habis dari mana?" tanyanya to the point.

"Oh? Tunggu... Kamu Jano?" lanjut kakak gue.

"Iya, saya Jano."

"Ah! I see... kenapa papa suka sama kamu. Hmmm, tapi kayaknya kamu bakalan capek sama adik saya."

Gue mencebikkan bibir. Sok tau amat jadi orang.

Berikutnya Shania berlalu, dan gue sama Kak Jano berjalan mendekat ke arah papa. Gue masih diam ketika papa menatap gue tajam. Sementara Kak Jano langsung mengambil alih suasana.

"Ini calonnya Refa?" salah satu Om gue bertanya.

"Ya harapannya begitu."

"Dia punya law firm. Dulu ikut sama law firm nya Pak Hendradi. Track recordnya oke, buat dijadiin partner legal team perusahaan kalau lagi butuh bantuan recommended," lanjut papa.

Kak Jano hanya mengembangkan senyum ke arah bapak-bapak itu. Kemudian secara natural Kak Jano bisa langsung mengikuti alur pembicaraan, sementara gue berdiri sambil bungkam bicara di samping Kak Jano.

Meskipun gue diam, tapi gue sama sekali enggak merasa diacuhkan. Bagian favorite gue adalah setelah dia selesai bicara, matanya bakalan melirik ke arah gue. Dengan begitu, meskipun gue cuma diem, gue enggak merasa diabaikan.

Kak Jano memang selalu punya caranya sendiri.

"Aku ambil minum dulu ya?" bisik gue.

"Sama aku," jawabnya yang kemudian berpamitan.

Masih dengan tangan gue yang melingkar di lengan Kak Jano, kami melangkah menjauh. Ujung mata gue tiba-tiba menangkap seseorang yang karenanya, gue langsung menghentikan langkah gue seketika.

"Kenapa?" tanya Kak Jano.

Mata gue melebar dan menatap lurus ke arah seseorang lelaki dengan stelan formal berwarna beige. Gue yakin gue enggak salah lihat, karena dia juga tengah menatap ke arah gue.

"Dandy?" Kak Jano berujar dengan santai.

Dandy mendekat dengan senyumnya. Tiba-tiba gue ngerasa kosong. Tatapan mata gue berubah menjadi sendu.

Senior [1] : Finding Mr. RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang