26. Belajar menerima

27 5 0
                                    

"Terkadang, kita harus belajar menerima kenyataan. Karena ada kalanya, takdir berbanding terbalik dari semua yang telah kita rencanakan dengan matang."

•••

Sejak kejadian ia akan ditunangkan dengan Rendi, Bella kini benar-benar jauh dari Reno. Bukan ini yang Bella inginkan, kenapa harus Rendi. Seberapa besarpun perubahan Rendi, tetap saja. Ia tak mampu menghidupkan benih rasa pada hati Bella. Hatinya masih untuk Reno.

Bella juga menjadi trending topik sekolah karena dianggap bitch, ganti-ganti pasangan dan hanya memilih yang tampan dan banyak harta saja. Tapi Bella tak pernah menghiraukan cibiran-cibiran di sosial media itu. Tak hanya dengan Reno, Bella juga semakin jauh dengan Laras karena ia terlalu tertutup pada Laras.

Hari ini, Bella tidak masuk sekolah lagi setelah satu minggu yang lalu hanya masuk satu kali. Kondisi badannya kini sering drop, bahkan dia juga sering mengunci pintu kamarnya dari dalam dan menjadi orang yang sulit ditemui oleh siapapun.

"Bel, bukain." Aldino kembali menggedor pintu kamar Bella sambil teriak.

Bella tak pernah peduli, saat ini ia benar-benar marah dan malas dengan keluarganya bahkan siapapun yang mencoba mendekati dirinya.

"Belllaaa!!" Aldino masih saja teriak.

"Gak mau." Baru kali ini ia membuka mulut.

"Bukain pintunya, dek. Kakak mau bicara." Ucap Aldino lirih.

Setelah beberapa lama ia hanya mematung ketika Aldino terus merayu untuk dibukakan pintu. Akhirnya hatinya tergerak melangkah ke depan pintu. Ia membuka kuncinya tanpa mengatakan apapun pada kakaknya itu dan langsung berbalik badan dan membuat posisi seperti tadi, di balik selimut.

"Bella, makan, ya." Kata Aldino.

"Gak." Jawab Bella singkat.

"Sampe kapan kamu kayak gini terus, kamu harus dewasa, dek." Aldino mengucapkannya dengan nada sedikit membentak.

Bella hanya mematung memunggungi Aldino tanpa menanggapi satu pun dari ucapan kakaknya.

"Tadi Rendi kesini."

Lagi-lagi ucapan Aldino membuat Bella semakin sesak. Ia tak suka membahas tentang Rendi. Yang saat ini dia inginkan satu-satunya adalah Reno. Kehadiran Reno mungkin bisa menjadi kondisi Bella lebih baik. Tapi Reno, apa dia peduli dengan keadaan Bella. Menghubungi Bella saja sudah tak pernah. Dan yang terakhir Bella tau dari postingan Reno di instagram dengan caption pelengkap I'm happy without you. Kalimat itu terlihat simpel. Namun sakit sekali saat Bella mengingatnya.

"Bel," panggil Aldino yang membuyarkan lamunannya.

Entah kenapa Bella langsung membalikkan badan yang semula memunggungi kakaknya lalu menghadap wajah Aldino.

"Dek, kakak tau apa yang kamu rasain. Apa dengan menutup diri kayak gini bisa merubah keadaan?"

Air matanya sudah tak tertahankan untuk jatuh. "Kak, aku gak mau kayak gini." Ucapnya terbata-bata.

"Kakak gak bisa ngasih saran selain kamu harus kuat, kamu harus bisa belajar menerima apa yang memang udah ditakdirin buat kamu, dek." Aldino mengatakan dengan hangat dan penuh kelembutan dalam setiap katanya.

"Tapi, kak."

"Gak semua yang kita inginkan itu tercipta buat kita, Bel. Ada kalanya, takdir berbanding terbalik dengan semua rencana kita. Boleh ngeluh, boleh lemah, tapi harus segera bangkit." Jeda Aldino sebentar, "Kamu harus belajar menerima karena memang Reno bukan takdir kamu."

Dadanya sesak, air matanya hanya mengalir sedikit. Mungkin karena di sudah terlalu lelah dengan keadaannya. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Reno bukanlah takdirnya, Reno hanya mampir sebentar mengisi hidup Bella tapi tidak sampai akhir.

"Yaudah, kamu makan, ya. Kakak tinggal kuliah dulu." Ucap Aldino sambil mengusap lembut kepala Bella.

Aldino sudah keluar sejak dua menit yang lalu. Namun, Bella masih menutup hatinya untuk Rendi. Ia tak bisa membukanya begitu saja. Reno, berkali-kali ia menyebutkan nama itu dan menatap cincin silver di jari tengahnya itu.

-flashback on-

Reno memasangkan sebuah cincin dengan model yang sama persis dengan yang ia pakai.

"Cincinnya bagus." Ucap Bella.

"Kamu jaga baik-baik, ya. Jangan pernah diganti sebelum aku yang gantiin dengan cincin nikah kita nanti."

Perkataan Reno mampu membuat Bella terbang tinggi, Reno memang tak seromantis lelaki lain. Namun ia mampu membuat Bella bahagia dengan cara yang sederhana."

-flashback off-

"Gak akan aku ganti. Aku gak akan ngelepas cincin ini sebelum kak Reno yang gantiin. Kak Reno bakal dateng lagi, kan." Bella mengatakan itu semua seakan dia gila. Ia masih saja berharap bisa kembali dengan Reno, padahal sangat tidak mungkin. Pertunangannya dengan Rendi, sudah di depan mata.

"Bel." Seseorang telah masuk ke kamar Bella dan membuatnya reflek memutar pandangan ke arah sumber suara sebentar lalu kembali mengalihkan pandangannya.

Bella mematung tak menggubris panggilan gadis itu. Ia tak peduli dengan siapapun yang mencoba datang menemuinya di kamar. Ia menjadi sangat tertutup.

"Gue kangen sama lo, Bel." suara Laras memecah keheningan sesaat, terdengar ragu-ragu di telinga Bella.

Laras kemudian semakin mendekati Bella yang sedang duduk mematung menghadap jendela. "Sebegitu bencinya lo sama gue sekarang?"

Laras salah! Sebenarnya Bella tidak benci pada siapapun. Ia hanya butuh waktu untuk bangkit. Bangkit sendiri tanpa ada tangan yang mengulurkan bantuan padanya. Percuma saja, siapapun yang datang tidak akan bisa mengubah keadaan.

"Apa gue gak berhak ada di samping lo? Apa gue udah gak pantes lagi buat jadi sahabat lo?" Laras tertunduk. Ia menahan sesak di dadanya, dan tanpa sadar air matanya sudah jatuh mengalir dan hilang di ujung pipinya.

"Selama ini, yang gue tau lo selalu ada buat gue, di samping gue, nyemangatin gue, dan selalu nguatin gue saat gue ada masalah. Tapi, kenapa sekarang lo gak biarin gue buat deket sama lo? Buat ngelakuin hal yang sama kayak yang lo lakuin ke gue. Kenapa lo malah egois dan lebih milih hadapin ini semua sendirian tanpa gue. Kenapa, Bel. Jawab!"

Laras menggoyangkan badan Bella yang lemah itu. Air mata Bella pun tak mampu tertahankan dan terus mengalir deras. Ia tak mampu mengatakan apapun untuk menanggapi Laras.

"Apa gue ini emang gak bisa diandelin? Apa keadaan lo bakal semakin buruk jika gue ikut ada dalam masalah lo, nenangin lo, atau minimal meluk lo dan bilang bahwa semua bakal baik-baik aja? Atau apa emang lebih baik jika gue gak ikut di dalam sana, karena gue cuman bakal ngeganggu dan membuat semuanya jadi lebih buruk?"

"Bel," Laras kini sudah tak mampu menahan isakan. Sekujur tubuhnya gemetar. "Gue paham banget kalo selama ini gue cuman bisa nyusahin lo doang, gue belum bisa sepenuhnya jadi sahabat yang baik buat lo, gue.." Laras kembali terisak. "Gue emang sekarang ngerasa gak berguna buat lo, Bel. Gue ngerasa apa manfaatnya lo punya temen kayak gue, disaat gue lihat lo sedih tapi gue gak bisa ngelakuin apapun-"

Bella spontan membalikkan badannya dan langsung memeluk erat sahabatnya itu. "Maafin gue," Bella terisak. Laras lalu membalas pelukan itu dan mereka dalam keheningan sesaat menikmati dekapan yang sudah lama mereka tak saling dapatkan.

Lalu Laras tersenyum setelah Bella melepaskan pelukannya. "Semua bakal baik-baik aja."

"Meski kehadiranku tak membuat keadaan kembali seperti semula. Namun, izinkan aku untuk sekedar memelukmu lalu tersenyum, dan berkata semua akan baik-baik saja"

~Laras Alexandra~

•••

An Unexpected [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang