04. Ruang Misterius

10.1K 1.4K 33
                                    

Alisa, Roni dan Amanda ngeri melihat tempat mereka berlari tadi. Mereka saling memandang dengan wajah takut, sedih, dan gemetaran hebat.

"Berarti pintu yang menuju ke gadis piyama tadi ada di sebelah kanan! Kita tidak punya waktu, dia bilang di lantai atas ada tempat persembunyian!" seru Roni dikuasai rasa panik lagi. Dia langsung berlari menaiki anak tangga, "Ayo kita ke lantai dua! Cepat! Cepat! Cepat!"

Amanda mulai menangis saat mengekor. "Mama ..."

"Manda, diamlah!" bentak Roni. Suaranya bergetar sekalipun keras.

"Gilang ditusuk, Dewi terkunci!"

"Lalu apa? Kamu bisa apa? Kalau kamu menolongnya tadi, kamu juga akan ditusuk! Dia seperti iblis, tahu-tahu sudah ada di belakang kita!"

"Dewi bagaimana?"

"Gadis piyama bilang 'kan? Kalau kita masuk ruangan, kita aman! Malah situasi kita yang dalam bahaya."

"Mana ada bodoh!"

"Kamu lihat sendiri tadi! Pintunya tiba-tiba hilang! Dewi terkunci'kan? Artinya pria itu tidak bisa menyakitinya, kita pikirkan diri kita dulu, lalu kita jemput dia, setelah pagi datang!"

"Kamu percaya gadis itu?!"

"Setelah yang kulihat tadi! Aku rasa 100% percaya sekarang! Kita tak punya pilihan lain, dan tak bisa berbuat apapun, jadi kamu diam saja, dan kita harus menyelamatkan diri dahulu," tegas Roni menoleh dengan wajah ketakutan. Saking takutnya, giginya ikut gemetar.

Sementara Alisa yang paling belakang terus menerus melihat ke bawah karena takut berkahir seperti Gilang. Dia tidak pernah melihat pembunuhan sebelumnya.

Mama, Papa, tolong aku!, teriaknya dalam hati.

"Alisa! Jangan terlalu pelan!" teriak Roni cemas karena gadis itu tertinggal. "Cepat lari! Cepat!"

Alisa berlari lebih cepat.

Setelah mereka berada di lantai dua, barulah terdengar suara tawa histeris di bawah. Pria mulut itu sudah mulai ingin menaiki tangga mengejar tamu tak diundangnya.

"Seandainya saja ada sesuatu yang bisa dijadikan alat pertahanan diri!" Roni mengatakan itu diselingi sederet umpatan.

Dia tidak mampu berpikir jernih, tidak ada satu ide pun yang terlintas. Kejadian barusan terlalu mengerikan. Suara teriakan Gilang dan histerisnya Dewi masih terngiang dalam kepalanya. Kening dan sekujur tubuhnya perlahan bercucuran keringat. Sesekali dia membersihkan kaca matanya sesaat lalu mengamati lantai dua yang nyatanya tidak jauh berbeda dengan bawah. Hanya saja tidak ada perabotan ataupun hiasan apapun, kecuali sebuah karpet berbahan rasfur terbentang di lantai.

Di tembok terdapat sepuluh pintu kayu dengan ukiran  berbeda-beda. Namun rata-rata memiliki corak sama layaknya ular yang memakan ekornya. Anehnya semakin dilihat, mata seperti terkecoh tengah melihat ular asli.

"Aku takut, Mama," rengek Amanda mendengar suara tawa pria itu semakin dekat. "Kita ada dimana? Kenapa tidak ada yang menolong kita? Aku takut, Ron, aku takut."

Alisa melihat anak tangga di lantai ini. "Apa kita harus ke atas lagi? Kita harus kemana? Tak ada jalan keluar dari lantai ini. Jendela pun tak ada. Apa-apaan tempat ini?"

"Ayo masuk ke salah satu ruangan disini!" saran Roni menunjuk ke pintu paling ujung kirinya. Dia bergegas tanpa membuang sedetik waktu pun. Bagaimanapun dia lebih baik selamat sendirian ketimbang jika harus menolong temannya yang tertangkap nanti.

Dia membuka pintunya berukiran ular memakan ekornya dengan satu titik hitam di tengah. Akan tetapi malah kaget di ambang pintu.

"Ada orang," bisiknya melirik seseorang di sudut kamar.

Pria paruh baya dengan tubuh besar yang terbalut putih penuh pengikat layaknya pasien rumah sakit jiwa. Dia menoleh dengan wajah kotor keriputnya, lalu menunjukkan deretan gigi hitam tajamnya.

"TAMU!" jeritnya histeris sambil berlari kencang menghampiri ketiga remaja ini. Dia tertawa gembira seolah ingin menerkam mereka.

"AAAAAAARRRGGHHHH!!!"

Alisa, Roni, dan Amanda kompak berteriak kencang. Roni segera menarik gagang pintunya sampai tertutup kembali.

Mereka mundur selangkah demi selangkah. Amanda dan Roni menenangkan debar jantung mereka yang sedari tadi tidak tenang. Tetapi, itu percuma saja karena pria yang mengejar mereka sudah sampai di lantai dua.

"Halo," sapa sang pria mulut.

"Kita pencar, cari ruangan lain!" teriak Roni cepat. Panik dan takut. Bayangan Gilang tewas kembali memenuhi kepalanya.

Alisa berlari ke pintu ketiga. Tapi ternyata terkunci. Roni mendahuluinya ke ruangan ke empat. Sementara Amanda hanya berlarian menghindari pria mulut. Mereka semua panik bukan main, tidak peduli satu sama lain. Satu-satunya keinginan yang terbesit hanyalah menyelamatkan diri.

"MAMA!" jerit Amanda sambil membuka sebuah pintu. Ternyata terbuka, masalahnya tempat itu hanya gelap gulita. Tapi dia tetap memasukinya. Lalu menutup pintu berharap pria itu tidak menusuknya dengan pisau yang masih berlumuran darah.

Pria itu ternyata mengejar Roni, "Hei, Hei ..."

Roni berhasil menemukan ruang kosong seperti ruangan Dewi. Dia langsung masuk tanpa peduli nasibnya lagi. Dia mundur kala pintu yang sudah terkunci rapat itu digedor-gedor.

"Eh, sampai besok, ya!" Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya menuju ke Alisa. Senyum aneh nan mengerikan tercetak di bibirnya. Hanya tersenyum saja sudah berhasil mengalirkan rasa takut hingga ke tulang belakang.

"Halo, Alisa? Kamu cantik sekali, sayangnya ... akan berakhir di rumah ini," katanya kembali.

Sembari berjalan mundur, Alisa menelan ludah. Dia sama sekali tidak paham ucapan pria itu. Tak satupun kata yang bisa keluar dari tenggorokannya. Semua keberaniannya menyusut, tungkai pun lemas.

"Gadis remaja jaman sekarang semuanya cantik, tapi sombong," ucap pria itu kembali sembari melangkah maju pelan sekali.

Pisau yang ada di tangannya sesekali terkena silau dari cahaya lampu utama. Bercak darah yang membasahi bilahnya belum kering. Tetes demi tetes sisa darah itu berjatuhan di lantai. Aroma darah menebar secepat angin, menerpa hidung Alisa, membuat ketakutan gadis ini meningkat pesat.

"Menjauhlah ... menjauhlah dariku," pinta Alisa pelan sekali, nyaris takkan didengar oleh siapapun.

"Menjauh? Mana bisa aku menjauh, kamu adalah tikus yang mengotori rumahku. Semua tikus kecil seperti kalian harus mati." Pria mulut itu mendengar ucapan Alisa.

Langkah kakinya lantas berhenti, lalu tertawa gila. Dia jelas ingin menyebarkan hawa intimidasi kepada Alisa. Senyum yang dia tunjukkan telah cukup menyatakan bahwa ketakutan korban adalah kebagiaan tak terkira.

Ia terus mundur sampai punggungnya menyentuh pintu kamar paling kanan. Lalu, tiba-tiba pintunya terbuka sendiri. Sebuah tangan keluar dan menariknya masuk. Suara laki-laki terdengar berbisik, "Kemarilah ... disini aman."

Alisa tersentak.

***

Can't Escape [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang