Libbie menghancurkan benda itu.
Dan begitu kalungnya hancur, sekelebat ingatan mulai memenuhi kepalanya. Dari mulai masa kecilnya yang tahu-tahu muncul begitu saja.
Di ingatan tersebut, dari mulai makan, tidur, bermain, semuanya dilakukan bersama seorang wanita yang ia panggil 'Mom'.
Dan sekarang wanita itu sedang dibawa oleh si Tuan Rumah. Pria yang mulai dia kenali sebagai orang yang hendak menjadi ayah tirinya.
Orang yang dalam ingatannya selalu membelikannya gaun malam. Terakhir dia baru sadar orang yang memberikan kue ulang tahun sebagai hadiah terakhir sebelum kematiannya adalah sang Tuan Rumah.
"Kamu- kira dengan memberikanku kue ulang tahun bisa menebus rasa bersalahmu? Kamu kira aku tidak tahu kamu yang membunuhnya!" bentak Libbie benar-benar mengetahui semuanya.
Dia menjerit histeris dengan kepala serasa ingin pecah. Perasaan pedihnya kembali muncul seketika sehingga keinginannya mati muncul.
Dia memang meminum obat tidur dosis tinggi saat itu agar bisa meninggal dunia dengan tenang. Semua dia lakukan agar bisa menemani sang ibu yang dalam ingatannya telah dibunuh pria itu.
"Dari dulu aku ingin mati! Dan kamu malah melakukan ini untuk membuatku semakin tersiksa!" Kemurkaannya tak bisa dikendalikan lagi.
Tanpa ragu dia menusuk dadanya sendiri dengan pisau yang dia bawa. Dia tidak peduli lagi dengan kegiatan okultisme yang dilakukan oleh pria itu.
Si Tuan Rumah hendak menghentikannya tapi perasan putus asanya terlampau besar. Apalagi setelah merasakan tubuh dingin Elisbeth.
Berbeda dengan biasanya, kali ini luka tusukan tubuh Libbie tidak segera sembuh. Dia benar-benar merasakan rasa sakitnya sehingga darahnya mulai membasahi sekujur tubuhnya.
Ia ambruk di atas makam Digo dengan darah yang ikut mengalir bersama air hujan. Sekarang dia paham kalau kali ini rencananya berhasil.
Seiring dengan banyaknya darah yang keluar, pintu rumah itu mulai terdengar terbuka.
"Ternyata-aku kunci rumahnya." Libbie tersenyum sambil memejamkan mata untuk menunggu ajal tiba.
"Namaku Rangga Amir Natadireja, pemilik asli rumah ini," ucap si Tuan Rumah sambil menurunkan mayat wanita yang dibawanya. Dia sudah sadar diri kalau mulai melemah. Bahkan matanya berubah memutih karena tidak bisa dipakai kembali. Kulitnya perlahan keriput seolah menua pelan-pelan.
Pria ini menoleh kepada Digo yang masih mendekap Alisa. Lalu mengatakan, "aku tidak menyesal membantai kalian semua, malahan aku senang karena aku benci rumahku dimasuki tikus, tapi pada akhirnya Elisbeth belum juga membuka matanya, ini membuatku putus asa dan ketika anak tiriku sangat ingin mati."
"Kenapa kamu sampai seperti ini?" Alisa melontarkan pertanyaan begitu saja. Dia ngeri melihat perubahan tubuh pria itu yang mulai tampak seperti kulit dan tulang.
Anehnya, tubuh Libbie masih terlihat utuh meskipun kondisinya tengah sekarat.
Pria itu pun menjawab, "cinta."
Ia menambahnya sembari membelai wajah si wanita yang mulai menghitam dan hancur. "Aku tidak paham dengan konsep hidup dan mati, menurutku kematian adalah hal yang tidak perlu, keluargaku adalah penganut okultisme, kami memuja keabadian, aku hanya ingin menghidupkan Elisbeth dengan ajaran itu, tapi seharusnya kalian tidak menghancurkan petinya, agar jiwanya tidak pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Escape [END] ✔
TerrorAlisa ditempatkan bersama orang-orang asing di sebuah rumah angker. Mereka terjebak tidak bisa keluar. Tempat ini bagaikan sangkar burung. Dia beruntung karena diselamatkan oleh Digo, penghuni lain di rumah itu, dari kejaran sang pemilik rumah di ma...