22. Si Pemarah

7.2K 1.1K 35
                                    

Alisa terjatuh di ruang hampa udara. Sejauh mata memandang hanya terdapat kegelapan. Dia terus berteriak histeris sembari memanggil nama Digo.

Setelah merasakan sensasi tersebut selama sepuluh menit, akhirnya dia muncul di sebuah kamar dan jatuh di atas meja tumpukan buku. Punggungnya sontak terasa sakit hingga menjalar ke seluruh tubuh. Saking sakitnya, dia tidak mampu bergerak untuk beberapa saat.

"Hai Alisa?" sapa Jimmy, salah satu penghuni lantai satu yang pernah dia temui. Tak jauh berbeda dengan penampilannya saat marah dulu, saat ini dia juga dalam balutan seragam putih abu-abu dengan badge SMK jurusan TKJ. Rambutnya tampak basah oleh darah yang keluar dari kulit kepala. Jika dilihat dari dekat, terdapat lubang-lubang kecil di kepala tersebut.

Dia menyeka darah yang mulai membasahi dahinya seperti itu hanyalah keringat biasa. "Huh, tepat waktu."

Alisa mulai bangun dari tumpukan buku. "Kamu Jimmy?" Matanya mulai memperhatikan rak-rak buku di kamar ini, ada juga meja kursi yang sama persis seperti waktu itu.

"Iya."

"Wajahmu tidak menghitam."

"Itu karena aku marah, jadi jangan buat aku marah, walaupun aku selalu ingin marah," ucap Jimmy melihat pintu yang menutup di langit-langit.

Pintu tersebut menghilang karena menyatu dengan atap, lalu muncul kembali di salah satu tembok. Namun sedetik kemudian langsung terbuka seolah dihembuskan angin kencang.

"Tempat ini benar-benar menyusahkan saat Halloween," kata Jimmy mengepalkan tangannya seakan-akan kemarahannya kembali menumpuk. Hal itu membuat wajahnya perlahan menghitam.

Dia menggerutu terus, "menyusahkan, menyusahkan, aku lelah, aku ingin pergi, tapi dia mengurungku ..."

"Jim?" Alisa malah takut melihatnya.

"Ayo pergi sebelum aku menyiksamu," ajak Jimmy melirik tajam Alisa, "kita ditunggu Libbie."

"Kenapa Digo tidak ikut? Apa kamu sengaja memisahkanku dengan Digo?" Alisa lebih khawatir berjalan bersama Jimmy nantinya karena pengalamannya lari bersama Aldo. Satu-satunya yang bisa dia percayai hanyalah Digo.

"Memisahkanmu?" ulang Jimmy malah menyambar kerah kemeja Alisa dengan kasar. Dia kelihatan tidak peduli meskipun berhadapan dengan seorang perempuan. "Jangan membuatku mengulangi ucapanku, Anak Baru. Aku memang tidak suka bertemu dengan penghuni lain, tapi ini perintah Libbie. Ada kesempatan bebas 45% jika aku menuruti perintahnya."

"Libbie ..."

Jimmy menyeretnya agar ikut keluar. Dia melakukannya dengan kasar dan tergesa-gesa. "Usahakan kau lari karena sekalipun tuan rumah sekarang mengejar pacarmu, ada kemungkinan belatung berkeliaran di sekitar kita."

Alisa memaksa tangan Jimmy melepaskan kerah bajunya, dia sampai hendak terjungkal ke depan karenanya pelakukan Jimmy. "Lepaskan aku, baik, baik, aku mengikutimu."

"Kamu sangat menyebalkan, lemah, penganggu, penghambat, seharusnya Digo tidak perlu mempedulikanmu." Jimmy melepaskannya, lalu meninggalkannya dengan berjalan cepat menyusuri lorong yang ada di lantai satu.

Lorong ini lebih parah ketimbang sebelumnya, jauh lebih gelap dan nyala api lilin dindingnya kecil sehingga pencahayaannya buruk sekali. Terdapat banyak sekali deretan pintu yang memang berada satu lorong dengan ruangannya.

Can't Escape [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang