27. Senyuman

7.3K 1.1K 62
                                    

Digo berlari mengejar Alisa sekuat tenaga. Dia mengeluarkan pisau bergagang ular dari dalam saku celananya. Tadinya dia hanya akan menggunakan itu untuk menghancurkan tiga benda, namun karena situasinya sudah berubah, dia berubah pikiran.

Setidaknya Libbie juga punya duplikatnya.

Ia berhasil menangkap tangan Alisa, tapi tarikan akar itu terlalu kuat sampai-sampai membuat tanah bergetar. Dia terus ditarik hingga hampir ke pagar pembatas rumah.

"Pegangan padaku!" Digo berhasil memeluk tubuh Alisa, lalu menahan tarikan akar itu dengan kekuatan kakinya sendiri.

Namun akar itu perlahan berhenti menarik dan malah membelit tubuh Alisa. Satu per satu akar pohon lain keluar dari dalam tanah dan menjerat seluruh tubuh gadis itu.

Alisa panik, jeratan akarnya itu tahu-tahu sudah membungkusnya hingga perut. "Digo ... tolong ..."

Dengan pisau ular, Digo mengiris salah satu akarnya. Dia melakukannya dengan cepat. Dari satu akar ke akar lain. Saat ujung pisau menyentuh akarnya, ternyata membuat makhluk hidup itu mengering seolah mati.

Setelah beberapa irisan membabi buta, Digo berhasil membebaskan Alisa. Pisau itu membawa kematian bagi seluruh akar yang melilit tadi.

Mereka duduk diam di atas tanah berumput beberapa detik.

“Digo.” Alisa langsung memeluk Digo.

Ia melihat kakinya yang kemerahan dan penuh sayatan akibat duri dan akar-akar tadi. Bukan hanya itu, kulit wajah pucatnya juga tampak penuh goresan, pelipis kanannya memar karena benturan pada batu.

"Sudah tak apa.“ Digo mengelus memar di kaki Alisa. "Tetap sakit, ya?"

"Sakit," jawab Alisa gemetaran lagi. Dia selalu tidak mampu menahan diri untuk bersikap tenang saat sudah berada di tengah-tengah bahaya. Untuk sekedar melihat sekelilingnya dan dia tidak berani. ”Maafkan aku. Aku kurang waspada.“

”Kenapa minta maaf? Bukan salahmu, kamu tak tahu.“

Alisa membenamkan wajahnya di dada Digo. Sembari meremas erat kemeja depan lelaki itu, ia bergumam, "maafkan aku, aku tak berguna untuk kalian. Aku sendiri tak mengerti, aku sudah mati— tapi kenapa aku merasa semua hal sangat mengerikan, aku takut."

”Semua jiwa begitu, Alisa, bukan salahmu, ingat Jimmy? Dia terus saja marah, ingat Fani? Dia tertekan, menangis lebih parah darimu.“

”Akar apa barusan itu? Apa akan menyerang lagi? Kita harus pergi, aku tak mau menyusahkanmu lagi.“

"Aku sendiri tak tahu, tapi akar itu selalu muncul saat ada jiwa yang keluar dari dalam rumah. Dulu aku sering sekali tertangkap dan menyeretku sampai ke pagar. Asal kamu tahu saja, pagar yang melingkari tempat ini kalau tersentuh kita, itu sakit sekali."

"Menurutmu itu akarnya apa?"

"Entah, menurutku itu akar yang ada di bawah rumah. Kalau kamu perhatian baik-baik, rumah itu bergerak, bukan? Kita seperti makanan yang dikunyah di dalamnya, makhluk hidup, tempat itu makhluk hidup, hanya pendapat saja."

"Mengerikan."

"Tapi itu'kan tidak penting."

"Iya, yang penting, masalah ini hari terakhir'kan?"

Can't Escape [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang