08. Misteri yang Terungkap

9.5K 1.3K 34
                                    

Kedua remaja ini hanya berdiam diri di ruangan itu selama berjam-jam. Keduanya sibuk membaca berkas-berkas di dalam kardus. Digo baru bicara ketika dia mendengar kicauan burung.

"Sudah pagi," katanya.

Alisa kaget. "Hah? Sudah pagi kata kamu, aku— aku belum tidur! Kita bahkan belum tidur? Beneran ini pagi?“

"Iya, aku mendengar suara burung barusan."

"Hah? Tapi—"

Digo menyelanya dengan mengalihkan pembicaraan, "biasanya ada orang membangunkan tamu baru seperti teman-teman barumu itu. Libbie mungkin sudah keluar, kalau tidak begitu teman-temannya. Dulu dia yang menyuruh kami untuk mendengarkan suara burung. Ya, akhirnya terbiasa."

"Dia sepertinya sangat senior, sudah berapa tahun dia disini? Jangan-jangan sejak kecil?"

Digo tersenyum seakan tidak mau menjawabnya. Dia malah berkata, "mungkin sebaiknya kita keluar, kau bisa membangunkan temanmu, kalian harus mencari tehnik untuk saling berkomunikasi agar tidak tertipu dengan godaan hantu peniru sialan itu."

"Tehnik?"

"Hantu itu selalu mencari kelemahan hati seseorang, artinya dia hanya menyamar menjadi orang yang dicintai, dikagumi, disayangi atau sedang dikhawatirkan, yang baik-baik. Biar kutebak kamu kemarin khawatir pada Dewi, suka anak-anak dan rindu mamamu?"

Alisa mengangguk. "Iya, aku khawatir karena dia sendirian di lantai satu sementara Gilang terbunuh tepat di depan kamarnya."

"Nah, artinya dia tak akan meniru suara seseorang atau sesuatu yang membuatmu muak, benci, takut, atau apapun yang jelek-jelek. Hewan apa yang kau takuti?"

"Anjing?"

"Ada seseorang yang kamu benci?"

"Pemilik rumah ini."

"Ah itu jelas." Digo tertawa pelan. Dia lalu menerangkan, "dulu aku dan teman-temanku memakai tehnik itu berkat bantuan dari buku catatan 'R.A.N' ini. Dia bilang hantu itu tidak akan meniru sesuatu yang tidak kita sukai. Aku sangat membenci seseorang dulu, jadi temanku biasanya membangunkanku dengan meniru caranya memanggilku."

"Membenci."

Digo melanjutkan dengan nada sedih. "Semakin kamu disini, kamu akan sadar rumah ini seperti punya nyawa. Semakin lama, kita seolah menyatu disini, dimana pintu ini ibarat hati dan hantu belatung itu ibarat orang-orang di sekitar kita. Kita hanya membuka hati hanya kepada orang yang kita sukai, menutupnya rapat kepada orang yang dibenci."

"Benar."

"Dan disini kita seperti diajari membuka hati pada orang atau sesuatu yang kita benci. Entahlah, maaf aku melantur, terlalu lama berada disini membuatku sangat sedih," kata Digo menyunggingkan senyuman penuh kepedihan. Dia memandangi Alisa seakan ingin menangis seraya spontan memegangi dahinya.

"Kamu tak apa-apa? jangan mengingat yang lalu-lalu."

Digo berdiri sambil meregangkan tubuh. "Cobalah ganti baju dulu, Alisa. Aku semakin sedih kalau melihat seragam SMA."

"Bilang dari tadi," kata Alisa langsung menuju lemari, membukanya. Dia sedikit takjub dengan bagian dalamnya yang ternyata bersih nan wangi. Deretan gaun selutut berenda warna-warni ala era delapah puluhan tergantung rapi. Ada sebuah ransel biru yang sudah rusak tergeletak di sudut bawah lemari.

Can't Escape [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang