Alisa tidak berani bergerak sama sekali begitu menyadari orang yang duduk di meja utama adalah sang pemilik rumah. Sekujur tubuhnya kaku, matanya tetap melototi sosok dalam balutan pakaian serba hitam itu.
"Malam, Alisa," sapanya dengan lembut sambil mengunyah daging mentah.
Alisa melirik ke arah tangga.
Sang pria mulut seolah tahu rencananya. Dia memperingatkan, "Aku tidak suka melihat ada orang berkeliaran di rumahku, terutama yang masih hidup karena saat kubunuh, tubuh mereka malah menjadi mengotori rumahku. Apa kamu mau tahu daging yang sedang kumakan ini milik siapa?"
Alisa langsung berlari ke arah tangga.
"Digo, tolong!" pekiknya histeris.
"Walaupun kalian sudah mati, aku bisa memotong-motong tubuh kalian! Itulah kutukan tempat ini!" Pria mulut itu berdiri, menyambar pisau berdarahnya di atas meja, lalu mengejar Alisa. Dia tertawa terbahak-bahak melihat gadis itu ketakutan luar biasa.
Alisa sendiri tidak tahu harus pergi kemana. Karena terlalu panik melihat pria itu yang sudah berdiri di belakangnya, dia menaiki anak tangga menuju lantai tiga. Pikirannya terlalu runyam sehingga malah pergi ke lantai asing ketimbang masuk kamarnya.
"Alisa? Kamu jangan berada di lantai tiga, disana sudah gelap loh, hari para arwah bebas sudah hampir tiba," bisik Pria itu yang anehnya terdengar dekat sekali.
Saking takutnya, Alisa menoleh ke belakang untuk memastikan jarak mereka masih jauh. Dia meraba tengkuknya yang merinding karena bisikan tersebut.
"Aku tidak akan melukaimu jika kamu mau mengobrol denganku. Selama ini semua orang yang kemari tidak istimewa, tapi kamu adalah tamu istimewa, entahlah, tapi aku suka melihatmu. Apa kau tak ingat kalau aku sudah melamarmu saat itu? Aku jarang bicara dengan orang luar selama puluhan tahun ini, Alisa. Ayolah bicara denganku."
Alisa mendadak bingung karena lantai tiga ternyata hanya diterangi oleh lilin yang menempel di dinding. Tempatnya memang luas, tapi rampak remang. Ada karpet terhampar di tengah lantai, lalu tiga ruangan dengan bentuk pintu kayu berukiran tidak jelas, selebihnya adalah tembok rapuh.
Aneh, pikir Alisa saat melihat retakan pada temboknya. Padahal dia yakin lantai bawah bangunannya kokoh.
"Alisa, dengarkan aku, aku bisa mendamaikanmu, loh. Seluruh jiwa disini sangat gelisah, mudah takut dan sedih. Semuanya pemarah, semuanya ingin bebas tapi tidak bisa. Aku bisa membebaskanmu," rayu pria mulut itu berjalan mendekati Alisa yang berdiri di tengah ruangan.
Alisa masih berpikir untuk masuk ke salah satu pintu. Akan tetapi dia takut jika salah memilih ruangan milik sang tuan rumah.
"Manusia itu sangat rapuh, itulah kenapa tempat ini dibuat. Aku tuan rumahnya, aku yang berhak mengaturnya. Kemarilah, akan kuberikan kebebasan untuk jiwamu yang ketakutan itu, agar kamu bisa menuju surga dengan tenang," ucap zang tuan rumah yang masih diacuhkan oleh Alisa.
Gadis ini mendadak masuk ke dalam salah satu pintu yang memiliki ukiran paling banyak. Tanpa berpikir panjang, dia langsung membaur ke dalam ruangan gelap gulita ini. Anehnya saat dia masuk, cahaya perlahan muncul dari kobaran api lilin yang tersebar di mana-mana.
Kini terlihat jelaslah sebuah perpustakaan kuno dengan puluhan rak penuh buku.
Tempat ini'kan .., Ia teringat cerita Digo sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Escape [END] ✔
HorrorAlisa ditempatkan bersama orang-orang asing di sebuah rumah angker. Mereka terjebak tidak bisa keluar. Tempat ini bagaikan sangkar burung. Dia beruntung karena diselamatkan oleh Digo, penghuni lain di rumah itu, dari kejaran sang pemilik rumah di ma...