20. Halloween (c)

7.6K 1.1K 17
                                    

Digo hanya membisu saat melihat kuku berdarah tersebut. Dia seolah sudah mengetahui pemiliknya. Saat terdengar suara berisik di semak belukar samping Alisa, dia spontan menarik gadis ini agar menyingkir.

Dia mengajak Alisa berdiri. Lalu menyembunyikan gadis ini di balik punggung. Dia mundur beberapa langkah.

"Siapa itu?" Alisa mengintip di atas pundak Digo.

"Teman ... lama," sahut Digo ragu-ragu.

Tiba-tiba ada seorang gadis berseragam putih abu-abu merangkak keluar dari semak-semak tersebut. Dia tidak jauh beda dengan kondisi mereka. Pucat dan kotor. Namun ke sepuluh jari tangan gadis ini terlihat berdarah karena kukunya tidak ada.

"Digo?" panggil gadis itu dengan suara dingin sekali. Dia sempat mengambil kukunya yang dilemparnya tadi.

Perlahan dia duduk bersila di hadapan Digo, lalu menunjukkan wajahnya yang penuh lumpur. Dia memandang Digo dengan mata sedih, "Kamu meninggalkanku lagi, ya?"

"Kenapa dia kelihatan—" Alisa tidak berani melanjutkan ucapannya karena berkontak mata.

Gadis hantu itu menjawab, "aku temannya dulu, satu sekolah dulu, aku mati disini karena ... dia." Ia Menunjuk Digo dengan ekspresi sedih kembali.

Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang masih berdarah seraya menangis, "Kamu bilang akan mengeluarkanku. Aku tidak tahan disini."

Digo meresponnya, "kenapa kamu ada disini? Sejak kapan kamu mau keluar ruanganmu?"

"Dari awal aku ada disini, tidur, lalu kamu datang, aku tidak tahan, Digo."

"Fani, dengan siapa kamu kemari?" Digo waspada dengan sekitarnya. “Siapa lagi yang kemari?”

"Jahatnya Digo, tak mau membagi tempat aman ini dengan siapapun, selalu saja begini— mau yang lainnya disiksa sampai berkali-kali mati, sakit sekali tahu." Gadis bernama Fani ini mendadak berhenti menangis dan melirik tajam Digo. Dia keliatan dipenuhi kekecewaan dan kepedihan.

Tak lama kemudian, dia kembali tidur di atas lantai ubin. Kemudian, ia menangis lagi dan lagi. "Sakit sekali, dia— dia mengambil kukuku ... lalu membunuhku, lalu mengambilnya lagi, lalu membunuhku lagi ... ini neraka." Suaranya berubah menjadi jeritan, "ini neraka! Bebaskan aku!"

Digo mengajak Alisa mundur karena suara jeritan itu seolah mampu menyebabkan telinga mereka berdarah. Suara itu sampai membuat beberapa tumbuhan mendadak layu.

"Kenapa dia aneh sekali?" Alisa mencengkram tangan Digo yang mulai panik.

"Aku tak mau kemanapun lagi, aku tak peduli, aku tak mau ini— aku tidak mau, aku mau pergi, Mama ..." rengek gadis itu membuat sekitarnya mendadak dipenuhi air dan lumpur. Bukan hanya itu, dia sesekali menyatukan kuku jempolnya yang terus menerus terlepas.

"Pantas saja dari tadi aku sudah merasa ada sesuatu." Digo mengedarkan pandangannya, yakin ada sesuatu lagi yang sedang bersembunyi di antara tumbuhan rimbun yang tumbuh liar di atap ini. “Kita harus berhati-hati.”

Tak lama kemudian ada yang membuka pintu, Aldo. Hantu berpenampilan paling kotor dan selalu memejamkan mata ini tampak santai mendekat. Dia berkata, "Halo, lovebirds! Malam ini, ini wilayah kami, enak saja kalian bisa berduaan sementara kami bertahan hidup di rumah."

Alisa tidak terlalu kaget dengan penampilan Aldo yang kotor. Ia hanya ingin berteriak kencang karena laki-laki itu perlahan membuka matanya. “Dia lagi.”

Tidak ada apapun di kedua lubang matanya. Hitam, kosong seperti jurang tak berdasar.

"Digo, kita harus pergi," ajak Alisa ketika melihat sekelompok geng penghuni lantai satu muncul di belakang Aldo. Dia sedikit syok saat melihat penampilan Delvin, Renata dan teman-temannya dalam wujud mati mereka sangat buruk. Lebih buruk ketimbang siapapun.

Mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu yang basah oleh darah dan lumpur. Semuanya punya luka yang sama yaitu tusukan bertubi-tubi di sekujur tubuh mereka. Saking mengerikannya, Alisa nyaris muntah. Gadis itu mundur selangkah demi selangkah karena tidak kuat melihat mereka.

"Aku jadi tak cantik lagi, aku benci seperti ini, setiap tahun seperti ini, kenapa aku tak bisa mengubah penampilanku?" gerutu Renata memandangi tangannya yang memar, lalu mengusap darah di sekitar bibirnya karena basah oleh darah dari lubang di dahinya. Lubang itu kemungkinan diakibatkan oleh tusukan pisau yang sangat tajam. “Gara-gara dia, lihatlah penampilanku, Delvin, bagaimana menurutmu?”

“Jangan khawatir. Kita satu server.” Delvin menepuk pundak Renata, "Aku juga benci wujudku, ini mengingatkanku saat dagingku dimakan oleh psikopat itu. Menyedihkan sekali."

Akan tetapi mereka mendadak tertawa seolah itu adalah candaan paling lucu. Twrlalu lama berada di rumah pembunuhan, membuat mereka berubah arwah gila yang membenci segalanya kecuali diri sendiri.

Alisa masih ingin muntah. Dia bersembunyi di balik punggung Digo. Satu tanggannya mencengkram lengan lelaki itu, tangan lain kemeja belakangnya. “Digo, aku takut.”

Digo memegangi punggung tangannya. “Kita akan pergi, jangan takut.”

Delvin menyindirnya, “oh, merinding sekali melihat kalian,  pengkhianat itu selalu berkata manis.”

Renata mengangguk. Kebencian tampak jelas ditujukan kepada Digo. “Dia yang paling senior disini, Vin, mungkin dia sudah lelah sendirian, makanya—” Dia menyeringai ketika berpandangan dengan sahabatnya. “Tahu 'kan? Sekalipun sudah mati, bisa merasakan.”

Aldo menoleh ke arah mereka. “Sudahlah, Geng.” Dia mengalihkan pandangan ke arah Digo dan Alisa yang ketakutan. “Kami setuju tak boleh ada Digo disini, biar dia yang jalan-jalan dengan tuan rumah.”

Dia berulang kali membersihkan lumpur di tangan kanannya, namun tetap saja keluar kembali seolah-olah terbuat dari keringatnya.

"Begitu aturannya? Oke, aku keluar, tapi biarkan Alisa disini." Digo tampak malas berdebat.

Alisa menggelengkan kepala. Dia mencengkram lengan Digo erat-erat sambil mengungkapkan keberatannya, "kamu mau aku disiksa mereka?"

Digo menjawab, "Tuan Rumah itu lebih mengerikan saat malam seperti ini."

"Tenang, Anak Baru."  Aldo menyela obrolan mereka. Dia perlahan mendekat sambil meneruskan, "dari awal kami itu bersahabat, kami malah ingin menyelamatkanmu dari Digo. Dalam kondisi mati ataupun masih hidup, sebaiknya menjauh dari dia ..." Ia menuding wajah Digo dengan pandangan benci. "Dia itu rubah."

Digo segera pergi mendahului Alisa. Dia mendorong tubuh Aldo agar menyingkir, lalu Delvin dan teman-temannya. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk membantah ucapan tersebut. Bahkan tidak ada keinginan untuk berkelahi memperebutkan tempat ini.

Alisa merasa diacuhkan.

"Disini saja, Alisa, temani aku, menempelkan kukuku," bisik gadis aneh yang tahu-tahu sudah duduk bersimpuh di bawah Alisa. “Kami bersahabat— tak seperti Digo-mu, dia jahat, berkata manis, padahal dia arwah pendengki. Dia tak suka melihat orang lain bahagia atau tenang, dia tak rela melihat yang lainnya bisa keluar dalam kondisi hidup— dia hanya akan mengantarkanmu ke tuan rumah.”

Alisa menggeleng. “Aku akan terus bersama Digo.”

***

Can't Escape [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang