Alisa ditarik masuk oleh seorang laki-laki seumurannya yang menghuni kamar paling kanan tadi. Dia terlihat sangat ketakutan.
Pintunya digedor dengan keras. Lalu terdengarlah suara pria mulut di luar, "Selamat datang di rumahku, Alisa!"
"Siapa kamu sebenarnya!" teriak Alisa. Pundaknya bergetar karena ketakutan. Tak bisa dibayangkan betapa ngerinya situasi yang dia alami.
"Aku? aku'kan pemilik rumah, Nona," jawab pria itu.
"Siapa! Aku tidak mau disini! Hentikan ini! Bagaimana mungkin kamu mengenalku!"
Tapi tidak ada sahutan kembali. Tidak ada siapapun lagi. Semuanya kembali sunyi senyap seperti tidak terjadi apapun.
Dia benar-benar tidak bisa masuk?, heran Alisa dalam hati.
Dia mundur, mundur dan menabrak tubuh laki-laki yang menyelamatkannya. Suaranya gemetar ketika bertanya, "aku ... apa ... apa kau orang gila juga?"
"Aku waras, kok, jangan takut," sahut laki-laki itu dengan suara lembut dan bersahabat. Dia menunjukkan dirinya sendiri yang tampak seperti remaja normal, berbalut jaket abu-abu, celana jeans, dan sepatu kets.
Alisa mengamati sosok penolongnya itu dari atas hingga bawah. Setelah meneguk ludah, dia bertanya kembali, "lalu siapa kamu?"
"Namaku Digo, aku bisa dibilang juga terjebak disini. Setiap bulan orang gila itu selalu menambah orang culikan kemari, rata-rata remaja seperti kita karena mudah dibunuh dan mungkin ada alasan lain yang kita belum tahu," jawab Digo tersenyum mempertahankan senyum ramah untuk menenangkan gadis itu.
"Dimana ini?" Alisa memandnag ke berbagai arah. Rasa takut yang ada dalam dirinya berangsur-angsur turun. "Kita ada di kamar siapa ini?"
"Ini kamar entahlah, kamarnya siapa aku tak tahu, jelas perempuan kayaknya," jawab Digo duduk pinggiran ranjang tua putih yang selimutnya tebal sekali. Dia menunjuk ke lemari kayu polos yang ada di depannya, lalu ke meja rias mini tepat di sebelahnya. "Tapi kamu jangan khawatir, entah siapapun yang memiliki tempat ini, yang pasti disini kita aman."
Alisa menengadah, melihat atap plafon yang hanya dihias oleh lampu gantung kuno. Dia berharap kamar ini terdapat jendela, 5api sayangnya rumah ini benar-benar seperti penjara. Bahkan, penjara pun ada sedikit lubang ventilasi, sementara disini tidak ada apapun. Aneh, dia tidak merasa pengap atau semacamnya.
"Iya, ini rumah aneh, seperti penjara, dekorasinya juga seperti bukan rumah tua peninggalan Belanda," terang Digo memandang Alisa, lalu mengalihkan pandangan ke dekorasi kamar yang unik ini. "Aku sudah disini lama, tapi tetap tak tahu ini dimana."
"Berapa lama kamu disini?"
Digo terdiam sejenak. Dia mengetahui lamanya berada di rumah itu, namun tak mau mengungkapnya pada Alisa. Iya, terlebij ketika gadis ini sedang dilanda kepanikan hebat. Alhasil, dia berbohong, "entah aku tak ingat. Berada disini membuat kita akan lupa konsep waktu. Dulu aku juga diculik saat masih memakai seragam SMA. Orang ini memang gila. Untuk sementara disini dulu sampai pagi nanti."
"Bagaimana kita tahu paginya kapan?"
Alih-alih menjawab, Digo balik bertanya, "namamu Alisa?"
Alisa tersentak kaget. Dia tidak mengucapkan nama hingga sekarang. "Bagaimana kamu ..."
"Orang gila tadi memanggilmu begitu'kan?"
"Oh." Alisa tersadar dan memegangi kepalanya yang mendadak sakit. Setelah itu, dia memeluk diri sendiri untuk menenangkan gemetarnya. "Maaf, aku jadi linglung. Aku melihatnya membunuh orang barusan, itu ... itu mengerikan. Aku bahkan masih ketakutan."
"Kamu akan terbiasa, setiap ada tamu baru, mereka kalang kabut seperti itu. Setelah melewati beberapa hari setelah punya kamar, barulah bisa tenang ... sedikit."
"Apa yang sebenarnya terjadi disini, Digo? Dimana kita? Siapa pria yang memakai penutup kepala yang hanya kelihatan mulutnya saja itu?"
"Aku hanya tahu sedikit. Jujur, sudah kukatakan tadi, aku sendiri juga tidak tahu ini dimana, tapi aku yakin rumah ini ada di daerah terpencil."
"Benar. Aku setuju."
"Kamu sudah tahu aturan rumah ini, ya 'kan? Siapapun yang terlihat keluyuran di malam hari akan dibunuh. Parahnya hampir seluruh ruangan disini terkunci, kalaupun tidak, pasti ada yang tak beres di dalamnya."
"Kamu benar, saat kami membuka pintu salah satu ruangan di sini, ada orang aneh yang menggila seperti sakit jiwa yang hendak menyerang kami. Tapi saat pintu tertutup orang itu diam."
"Ya itulah, aneh, bukan?"
"Terus apalagi?"
"Pembunuh disini adalah pemilik rumah, sampai sekarang aku kurang tahu motif atas tindakan gilanya ini, bahkan aku belum berhasil mengetahui identitasnya. Cuma aku yakin informasinya ada di perpustakaan rumah ini. Masalahnya tempatnya di lantai tiga, itu lantainya dia."
"Bagaimana kamu tahu?"
"Dulu saat aku punya teman, ya sebelum kalian, kami berhasil menyelidiki orang ini sedikit. Niatnya mau menyerang balik. Percaya atau tidak, satu-satunya cara keluar dari sini itu membunuh orang itu, percuma kalian mati-matian membuka pintu utama, disini itu ... sedikit mistis."
Alisa masih belum bisa menerima keanehan ini, "Aku ..."
"Iya, jaman sekarang mana ada yang percaya mistis, apalagi remaja seperti kita ... orang jaman sekarang ..." sela Digo tampak tidak senang dengan Alisa yang terkesan meragukan.
"Aku percaya!" ralat Alisa, "aku percaya mistis."
"Kalau mau membuka pintu, setahuku harus punya kunci utama. Ya, harus merebutnya. Tapi itu susah ..."
"Lalu apa yang terjadi pada kalian? Dimana teman-temanmu?" tanya Alisa tidak sabar, "apa mereka ada di kamar lain?"
"Gagal. Kami hanya sekumpulan remaja. Sekalipun kami berhasil menusuknya, dia masih hidup, jadi kupikir kami kurang informasi. Intinya aku tidak tahu dia itu 'apa', manusia berjiwa iblis mungkin, atau memang seorang psikopat yang punya fisik kebal."
"Jadi, hanya kamu yang ... maksudku ..."
"Iya ... waktu itu hanya aku yang selamat, dan jangan dibahas, selama kamu disini, hampir setiap hari, kita akan memiliki kenangan buruk."
"Digo ..." Alisa mendadak merasakan kehilangan yang amat dalam.
"Kita berada di perahu yang sama, jangan memandangku dengan tatapan seperti itu. Lagipula sudah lama kok."
"Tapi Digo, sebenarnya berapa banyak orang yang bersembunyi di rumah ini?"
"Mana kutahu, aku jarang keluar dari sini."
"Apa kamu mengenal gadis berpiyama biru, dia cantik, pendek, ya dia bilang kalau dia dan teman-temannya ada di salah satu ruangan di lantai satu. Dialah yang memperingatkan kami tentang orang gila ini."
Digo mengangguk. "Oh, gadis penghuni lama itu?"
"Penghuni lama?" ulang Alisa penasaran.
"Ya, dia memang kurang kerjaan, suka keluyuran menjelang malam, dia sudah ada sebelum aku. Dia memang baik suka memperingatkan tamu baru, tapi aku anti teman-temannya. Maksudku, para penghuni di lantai satu ... aku agak tak suka mereka."
Alisa masih bingung dengan sikap tenang Digo berhadapan dengan orang gila. Bahkan dia yakin tidak melihat ketakutan di dua pasang matanya.
Dia aneh, pikirnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Escape [END] ✔
HorrorAlisa ditempatkan bersama orang-orang asing di sebuah rumah angker. Mereka terjebak tidak bisa keluar. Tempat ini bagaikan sangkar burung. Dia beruntung karena diselamatkan oleh Digo, penghuni lain di rumah itu, dari kejaran sang pemilik rumah di ma...