Digo mengajak Alisa keluar dari tempat itu. Pegangan tangannya sangat erat seolah tidak ingin gadis ini melarikan diri lagi. Raut wajahnya dilanda kesedihan jika terus menerus menutupi semuanya.
Mereka berdua berkali-kali membuka sebuah pintu di dalam ruangan demi ruangan. Awalnya Alisa merasa bingung karena rumah ini tidak masuk akal. Dia merasa dipermainkan karena terus menerus memasuki ruangan kosong. Hingga akhirnya sampai di tangga menurun, kemungkinan besar ruang bawah tanah.
"Dimana kita?" tanya Alisa terdengar masih takut. “jangan membuatku takut, Digo. Tempat ini kelihatannya berbahaya.”
Digo menuntun Alisa turun bersama seryaa menenangkan, "jangan khawatir, malah disini adalah tempat paling aman dari lantai manapun, ini ruang bawah tanah. Tidak ada orang, atau hantu yang mau kemari. Bahkan pemilik rumah sialan itu jarang sekali sampai turun kesini karena ... ya, berbagai sebab.“
Aroma busuk luar biasa langsung memenuhi hidung Alisa. Isi lambungnya ingin membuncah ketika menghirupnya selama beberapa detik saja. Bau amis dan bangkai menyengat menebar di segala penjuru tempat ini. Benar saja, sejauh mata memandang ini adalah penjara dengan jeruji karatan yang telah menghitam.
Alisa ingin naik tangga kembali, tapi tangannya ditangkap Digo.
"Jangan kemanapun tanpaku, percayalah, kalau saja tadi ka.u sendirian saat bertemu Delvin tadi, kamu sudah patah tulang, Alisa," pinta Digo serius memperingatkan, "aku ingin menunjukkan sesuatu."
"Kamu bilang tempatku, tapi ini penjara," ucap Alisa menutupi hidungnya dengan tangan. ”Benarkan?“
Digo menyeretnya agar ikut berjalan menyusuri penjara demi penjara kosong. Walaupun dia sendiri juga ngeri jika berada disini, dia berusaha menguatkan dirin. Dia mengatakan, "aku tidak tahu ini tempat apa, tapi jelas penjara untuk menyiksa ..."
Alisa ngeri melihat jeruji besi yang masih basah padahal tidak ada penghuninya. Suasana yang sangat sunyi malah membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia memegangi tangan Digo seraya berbisik padanya, "Digo, ini aneh dan mengerikan, aku takut. Kamu sungguh yakin disini aman?"
"Itu ruangannya," kata Digo menunjuk sebuah pintu kayu dengan ukiran ular yang memakan ekornya. Dia buru-buru mengajak gadis ini masuk kesana sebelum dia sendiri mengeluarkan isi perutnya.
Jangan kesini ...
Suara bisikan aneh yang hanya didengar oleh Alisa. Gadis ini menoleh kemanapun. Tak ada yang sumber suaranya. Karena tidak ada apapun, dia kian ketakutan. "Digo ... ada yang berbisik, kita dilarang mendekat, tak boleh datang kemari."
Digo membuka pintu sembari melihat ke langit-langit "Ya, memang, coba kamu mendongak. Mungkin salah satu arwah yang terlalu tua. Mereka sensitif dengan keberadaan kita. Tapi, bukan berarti kita dalam bahaya kalau kemari”
“A—arwah?” Alisa mendongak, dan langsunh kaget bukan main saat melihat ternyata atap batunya ternyata juga tercampur dengan bagian-bagian dari tengkorak manusia. Mulutnya terbuka, suara teriakan siap keluar, tapi urung karena Digo menariknya
masuk ruangan.
"Digo, tempat apa ini? Sebenarnya kita ngapain, sih? Kenapa kamu mengajakku kemari?“ Ia memperhatikan isi ruangan yang diterangi banyak sekali lampu dinding terang. Walaupun berada di bawah tanah, tapi jelas sekali terlihat banyak sekali cermin setinggi badan ada dimanapun. Selain itu, ada kelambu putih panjang juga menjuntai dari atap, terlalu banyak sehingga menutupi sebagian cermin.
"Ini ruang apa ya, entah, tapi dulu aku pernah disini, sebentar, ayo ikut aku," pinta Digo menyibakkan kelambu demi kelambu mencari sesuatu.
Alisa panik saat menyadari kalau bayangan yang terpantul di depan cermin adalah dirinya dalam balutan seragam SMA. Dia mengangkat tangannya untuk memastikan kalau itu dirinya. "Aku 'kan memakai gaun selutut? Kenapa bayanganku ... memakai seragam yang ..."
Lebih mengerikannya lagi, dia baru sadar kalau lehernya terdapat bekas kemerahan aneh. Ia langsung berbalik dan berusaha melihat dirinya sendiri di semua cermin. Ternyata pantulannya sama. Dia berlari mengejar Digo.
"Digo, aku sangat— sangat percaya mistis sekarang, ayo kita pergi dari sini, tempat ini seperti dipenuhi sihir, lihatlah aku— aku terlihat aneh, aku sangat pucat dan leherku seperti terjerat sesuatu,” katanya tersendat-sendat sembari meraba lehernya yang menurutnya baik-baik saja. “Sekarang aku merasa leherku seperti terjerat— ini pasti ruangan sihir. Ayo kita pergi dari sini ...”
Digo berdiri di depan sebuah cermin. Dia tidak merespon ucapan Alisa karena sibuk memandangi pantulan dirinya sendiri.
“Di ... go?” Alisa terperanjat saat mendapati pantulan sosok Digo. Sosok itu adalah dirinya dalam balutan seragam SMA dengan dahi yang berlubang, mengeluarkan darah seolah baru saja ditancapkan sebuah pisau.
Digo menoleh ke Alisa, lalu ke depan cermin kembali. "Alisa, jangan kabur ... itu, lihatlah, itu aku— dan" Dia menunjuk ke samping kirinya, tepatnya di kejauhan ada seseorang yang tergantung tali merah yang terpasang di atap batu.
Meskipun pencahayaan disini sangat minim, mengingat hanya berasal dari lampu-lampi bercahaya kuning yang berada di dinding, tapi sosok yang tergantung itu terlihat jelas.
“Ah.” Alisa mundur selangkah demi demi sampai menabrak cermin, dan membuatnya jatuh pecah menjadi kepingan kecil. Dia menggeleng tak percaya melihat gadis berseragam SMA yang tergantung tali merah itu sudah dikerubungi belatung. Kondisinya buruk dan jelas dialah sumber bau busuk di seluruh area.
"Mustahil!“ Ia histeris. ”Bukan ... bukan! Ini mustahil, Digo, ini ilusi ... sihir!“
Digo mendekatinya dengan perlahan, lalu menenangkan gadis itu di dalam dekapannya. Dia sendiri ingin meneteskan air mata saat melihat bayangan mereka berdua di pantulan cermin. Dia berkata, "Maafkan aku, harusnya dari awal kuberitahu ini. Aku hanya ingin kamu mengetahuinya sendiri, tapi ... ini pasti sulit dipercaya."
"Aku ..."
"Jangan takut, ada aku. Mulai sekarang, aku akan melindungimu."
Alisa masih terisak merasakan elusan Digo di rambutnya. Rasanya dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Jika tahu begini, dari awal dia tidak akan berlari dari pembunuh itu karena semua percuma saja. Lantas apa gunanya menginginkan kekebebasan kalau sudah begini?
”Aku sudah mati,“ ucapnya lirih sembari menggigit bibir bawah yang gemetar menahan kepedihan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Escape [END] ✔
HorrorAlisa ditempatkan bersama orang-orang asing di sebuah rumah angker. Mereka terjebak tidak bisa keluar. Tempat ini bagaikan sangkar burung. Dia beruntung karena diselamatkan oleh Digo, penghuni lain di rumah itu, dari kejaran sang pemilik rumah di ma...