Libbie terlihat sedang menggambar banyak sekali huruf aneh di tembok sebuah ruangan sempit. Dia meniru tulisan dari buku berbahaya yang pernah dibaca oleh Digo. Saat tangannya yang menyentuh, efeknya tidak terlihat menyakitkan. Malahan buku itu seperti buku biasa, tidak ada tulisan yang bergerak.
Dia berada disana bersama dua remaja yang masih hidup yaitu Roni dan Dewi. Selama ini dia berjuang sendirian agar dapat menyembunyikan mereka berdua. Dia terpaksa mengarahkan si Tuan Rumah kepada Digo demi mendapat sedikit waktu.
"Libbie, pintu ini tak mau menutup." Roni yang berusaha menahan pintu ruangan itu agar mau menutup. Dia tampak kepayahan sampai berkeringat banyak padahal tidak ada siapapun di luar ruangan itu.
Dewi hanya menangis di pojokan ruangan dengan tubuh gemetaran. Sudah beberapa hari dia tidak mau kemanapun karena trauma dengan sekitarnya. Bahkan dia tidak sanggup untuk sekedar berdiri.
Libbie berhasil mengaplikasikan lambang dalam buku aneh itu ke tembok ruangan. Berbeda dengan penghuni lainnya, wujud Libbie ini masih sama seperti sedia kala yaitu sebagai si gadis berpiyama biru.
"Kalian jangan khawatir, memang Delvin, Renata dan lainnya tadi berpenampilan horor, tolong jangan takut, mereka tidak akan membunuh kalian," jelasnya menutup bukunya dan mengamati tulisannya yang mulai bereaksi.
Tulisan itu mulai hidup dan bergerak dengan sendirinya. Gerakannya sangat lambat namun jelas membentuk seperti rantai. Rantai tersebut perlahan membuat tanda silang pada pintu ruangan dan menyatu dengannya.
Roni mundur setelah yakin bahwa tulisan itu telah membuat gerakan pintunya terhenti. "Aneh, kenapa disini aneh sekali, kamu apakan pintu itu? Kenapa bisa begitu?"
"Aku merasa bisa membaca buku ini." Libbie memandangi buku sampul usang itu, "Digo salah, bukan buku ini yang harus dikumpulkan di 'tengah tempat' ini, tidak perlu mengeluarkan kalian untuk melakukan ritual ini, cukup aku, karena aku masih hidup."
Dewi akhirnya meresponnya, "Sebenarnya apa rencana kalian? Jelaskan dengan singkat dan tidak rumit, aku nyaris kehilangan tanganku karena hantu tanpa kepala itu tadi mau memotongku ..."
Roni mendekatinya. "Dewi sudah tidak apa-apa, Libbie menolong kita." Ia berusaha tetap berani meskipun tubuhnya sama gemetarnya dengan Dewi. Saking takutnya, dia merasa sulit bernapas dengan baik.
Setiap malam dia bermimpi buruk karena melihat seseorang yang melayang tanpa kepala dengan belatung dimana-mana. Ingatan tersebut sekarang sudah melekat di kepalanya.
Libbie melanjutkan penjelasannya, "tempat ini akan aman sampai hari ini berakhir. Jadi kalian tidak perlu ikut berlarian dari kejaran mereka. Biar aku dan teman-teman yang melakukan ritual ini. Aku ini tidak bisa mati dan teman-temanku semuanya sudah mati. Jadi kurasa, kami bisa melakukannya besok."
"Libbie." Roni merasa kalau Libbie juga merasa sesak karena rasa takut. Dia masih ingat gadis berpiyama biru ini juga ketakutan saat hari pertama mereka bertemu.
"Aku takut, tentu saja, siapa yang tidak takut melihat orang yang membantai seperti itu setiap bulan sepanjang tahun selama ratusan tahun." Libbie seolah ingin menangis memandangi mereka berdua. "Aku takut, tapi aku lebih takut kalau ini tetap berlanjut."
Roni mengalihkan pembicaraan agar suasana hatinya tidak terus memburuk, "Apa rencanamu dengan Digo?"
Libbie mengeluarkan sobekan kertas dari saku piyamanya. Dia menunjukkannya pada mereka berdua. Sebuah sobekan yang memiliki tiga kata dalam gabungan huruf-huruf aneh. "Kalung, cincin, dan gelang. Yang dimaksud tiga benda ini harus berada di tengah tempat ini bukanlah buku tapi benda ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Escape [END] ✔
HororAlisa ditempatkan bersama orang-orang asing di sebuah rumah angker. Mereka terjebak tidak bisa keluar. Tempat ini bagaikan sangkar burung. Dia beruntung karena diselamatkan oleh Digo, penghuni lain di rumah itu, dari kejaran sang pemilik rumah di ma...