Digo menuruni anak tangga dengan membawa pensil dan buku tulis yang sudah menguning. Dia tampak gundah saat melihat di lantai bawah, kedua remaja yang masih hidup, Roni dan Dewi, tengah memakan sepiring hidangan makanan. Kini piring yang ada di meja tinggal tiga, jatah milik Amanda, belum tersentuh sama sekali.
"Kemana Manda?" tanya Dewi dengan lahap mengunyah roti isi daging. Dia merasa sangat kelaparan sejak kemarin tidak makan. Sekalipun dia melakukannya dengan mata yang terus mengeluarkan air mata.
Roni menjawab, "entahlah. Seingatku kemarin dia masuk ke pintu di sebelahku."
"Aku khawatir."
"Aku harus memberitahu kalian sesuatu," kata Digo menghampiri meja dengan perasaan risih melihat kedua remaja itu makan seperti kesetanan.
Roni menoleh. "Siapa kamu sebenarnya? Kamu yang menyuruh kami untuk segera makan, lalu menjemput Dewi, lalu dimana Alisa?"
"Namaku Digo. Aku teman Alisa ... sekarang. Dia sedang istirahat di kamarku karena sedikit syok."
"Syok? Kenapa dia tadi lebih histeris dariku, dia bilang aku hantu, lalu pergi meninggalkanku," tanya Dewi waspada, "sejak kudengar suara jeritan tadi malam, lalu ternyata Gilang sudah mati, aku merasa ..."
Roni memberikan tatapan curiga. "Bukankah satu kamar hanya muat satu orang?"
"Kami berbeda," sahut Digo datar.
Roni dan Dewi saling memandang bingung.
Digo memandang mereka serius. "Oke, dengar, aku ini teman, aku sudah terjebak disini lumayan lama. Anggap saja sepeti gadis berpiyama biru yang kalian temui itu."
"Sebenarnya ada berapa orang disini? Apa mereka semua bersembunyi?" tanya Roni cemas.
"Ya tentu saja. Kebanyakan ada di kamar lantai satu. Sudahlah, kita jangan buang-buang waktu. Aku disini ingin menggambarkan peta rumah ini. Setidaknya sementara waktu, kalian mengetahui letak pintu yang 'aman'."
Dia menaruh buku di meja, lalu mulai menggambarkan letak pintu dari lantai satu sampai tiga. Namun dia tidak memberitahu lebih rinci tentang pintu-pintu di lorong maupun ruang bawah tanah.
"Tulisanmu seperti cewek," ucap Roni memperhatikannya.
Digo tidak peduli dan langsung menjelaskan, "pertama, kita sekarang ada di 'Tempat Awal & Akhir'. Kami menyebutnya begitu. Kalian bangun disini dan jika beruntung, kalian akan berhasil keluar lewat pintu keluar itu." Ia menunjuk pintu berjeruji besi. "Semoga."
"Kenapa kaMu pesimis begitu?" Mendadak Dewi mulai ketakutan lagi. Dia melihat lukisan demi lukisan dinding. “Tempat ini aneh sekali? Ada makanan untuk kita saat pagi— tapi saat malam kita diburu seperti tikus? Apa maksudnya?”
"Di lantai satu ini, sedikit rumit, kamu, Dewi 'kan? Kamu menemukan ruangan di lantai satu. Seingatku disini ... ada 20 kamar. Cuma letaknya rada tersembunyi memang dan membingungkan seperti kamar rumah sakit. Kalian harus percaya mistis jika berada disini. Logika sama sekali tidak berguna, oke?"
Roni dan Dewi mengangguk setuju.
"Nah, di lantai dua, lantai kamarku berada, ada sepuluh pintu. Hampir semuanya kelihatannya sama ... aku membuatnya lebih gampang dengan memberinya nomor. Paling kiri adalah kamarku, no. 10. Nomor yang aman untuk dimasuki adalah nomer lima, kamarmu," terang Digo melirik Roni sesaat, "untuk nomor sedikit bahaya bagi manusia itu ada di nomor tujuh, kemungkinan teman kalian memasukinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Escape [END] ✔
HorrorAlisa ditempatkan bersama orang-orang asing di sebuah rumah angker. Mereka terjebak tidak bisa keluar. Tempat ini bagaikan sangkar burung. Dia beruntung karena diselamatkan oleh Digo, penghuni lain di rumah itu, dari kejaran sang pemilik rumah di ma...