26. Rumah Kematian

7K 1.1K 11
                                    

Digo dan Alisa berhasil melewati pintu tikus dengan kondisi parah. Mereka berdua ambruk ke halaman berumput dengan tubuh gemetar. Digo sampai muntah darah, sedangkan Alisa masih merasa kalau kepalanya akan putus dari tubuhnya.

Selama satu menit lamanya mereka berada di rumput basah, tidak ada satupun yang mampu merasakan hawa segar saat itu. Cahaya matahari belum sepenuhnya keluar sehingga tubuh kotor mereka tidak terlalu terlihat. Meskipun demikian, untuk pertama kalinya bagi Alisa merasakan kulitnya tersentuh udara dingin seperti ini.

Alisa perlahan memandangi sekitarnya. Dia sedikit tenang saat tersadar sedang memandangi pepohonan berdaun kecil yang rimbun. Semua tanaman tampak tumbuh liar. Samar-samar terlihat di kejauhan terdapat pagar pembatas yang terbuat dari besi tua yang karatan. Di luar pagar tersebut juga masih ada pepohonan.

Tempat ini benar-benar berada di tengah hutan belantara. Hutan yang sunyi, tidak ada suara burung ataupun binatang lain.

"Digo, kita ada diluar rumah? Ini serius?" tanya Alisa mulai berdiri dengan langkah tertatih. Sembari terus membelai lehernya yang kemerahan, dia berbalik serta mundur selangkah demi selangkah, lalu melihat penampakan rumah yang selama ini mengurungnya.

Bangunan tua bergaya Eropa kuno lengkap dengan banyak balkon dan jendela yang sayangnya tidak berguna. Iya, karena seluruh bangunan ini tertutup lumut hitam. Lumut itu seolah hidup dan makin lama makin menebal. Tidak terlalu jelas bagaimana rupa bangunan ini jika lumut itu disingkirkan, akan tetapi dari bentuknya saja bisa dipastikan kalau bangunan ini tidak terlalu luas.

"Dari luarnya kelihatan sempit, kenapa bagian dalamnya luas?" Alisa berusaha memahami tempat ini, namun semakin dia melihatnya, semakin dia yakin kalau telah melihat ular hitam juga melingkari seluruh bangunan.

Dia segera berbalik lagi untuk memeriksa keadaan Digo yang masih terpuruk di atas tanah. "Kamu baik-baik saja?"

Digo berdiri perlahan. Dia melepaskan perban kotor yang membalut kepalanya selama ini, lalu membuangnya ke sembarang arah.

Ia mengambil sobekan kain biru dari saku celananya dan membelitnya kembali. "Itu sakit luar biasa."

Alisa masih tidak tahan melihat kepala Digo sehingga mengalihkan pandangannya. Ia mulai berjalan mendekat ke arah pagar. "Menurutmu kita sungguh tak bisa keluar dari sini?"

Digo menariknya kembali. "Jangan jauh-jauh dariku, jangan mendekati pagar, percuma, kamu tak akan bisa keluar."

Alisa memandangi langit yang mulai cerah, "Padahal ini sudah diluar rumah, Digo. Ini diluar rumah, kenapa kita masih gentayangan? Kenapa malaikat tidak kunjung merebut kita?"

"Alisa, nyawa kita itu masih terikat di rumah ini, ibaratnya kita dipaksa hidup, tapi disini saja. Sudah ayo kita cari Libbie, seharusnya dia sudah di luar. Kita harus cepat sebelum orang itu ikut keluar rumah."

"Kita cari apa disini? Kamu bilang tengah area rumah' kan? Halaman ini? Tempat ini cukup luas."

"Ayo kita coba ke belakang, persembunyianku bersama Libbie biasanya disana," ajak Digo sambil menarik lengan Alisa. Dia mengajaknya segera pergi memutar ke halaman belakang.

Betapa terkejutnya Alisa karena ternyata halaman belakang adalah tanah pemakaman. Banyak sekali gundukan tanah dengan nisan tanpa nama. Setiap nisan selalu ada satu pohon naungannya. Saking banyaknya makam disini, dia sampai tidak bisa melihat pagar pembatas pada halaman belakang ini.

Can't Escape [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang