Alisa membaca judul salah satu sampul hitam yang berbunyi: 'Penjajahan Belanda......'
"Libbie, bukankah kita tak bisa bebas jika rumah ini masih terkunci?" tanya gadis itu memwcah keheningan, "kita semua masih disini, kenapa kamu bilang seolah-olah ada yang sudah bebas?"
"Sebenarnya jika tulang belulang seseorang sudah dikubur jauh dari tempat ini, dia akam bebas, Alisa. Semua yang ada disini terjebak karena raga mereka masih disini, sepertimu, kamu sudah melihat ragamu sendiri'kan?"
"Jadi ..."
"Jadi setelah kita mengalahkan tuan rumah itu dan membuka rumah ini, aku akan menguburkan kalian semua sehingga kalian bisa bebas."
Alisa terhenti karena penjelasan Libbie terdengar ambigu. Dia mengerutkan keningnya sambil bertanya serius, "Bagaimana denganmu?"
"Aku masih hidup."
"Hah?" Alisa kaget bukan main, "maksudnya? Kamu terjebak disini dalam kondisi hidup selama ... kau masih terlihat ... tapi kata Digo ..."
Libbie tersenyum saat menunjukkan tanda di leher belakangnya yang terdapat tanda ular yang memakan ekornya. Lebih mengerikannya lagi, tanda itu terkesan hidup karena ularnya berputar memakan dirinya sendiri.
"Aku abadi selama terpenjara di tempat ini. Aku lupa dengan jati diriku, tapi aku tahu kutukanku melarangku untuk berlama-lama di lantai tiga karena ini bukan wilayahku."
"Aku tak paham."
"Apa Digo tidak memberitahumu sesuatu tentang orang hidup abadi yang dikutuk di setiap lantai?"
"Apa maksudmu?"
"Oh, mungkin dia hanya tak mau membebani pikiranmu. Nani saja dibahas." Libbie mengambil salah satu buku bersampul kuning dengan judul :
R.A.N
Dia lalu melanjutkan dengan lirih, "sekarang yang paling utama, kita harus kerjasama mencaritahu identitas tuan rumah."
Gadis itu berjalan menghampiri Alisa sambil menyerahkan buku itu. "Aku harus turun, aku merasa sesak berada di tempat ini terlalu lama."
Alisa menerimanya. "Aku ... harus apa?"
"Tunggu saja disini, aku akan menyuruh temanmu kemari setelah mereka makan pagi."
Alisa masih membisu memandangi sosok Libbie yang sedari awal dia kira sudah mati sejak dulu. Apalagi sosok gadis blasteran itu terlihat seperti putri dari orang Belanda.
"Aku tahu kamu ketakutan, Alisa, tapi kamu harus tahu, aku dan Digo bisa dipercaya. Jangan mudah terpengaruh oleh semua tindakan dan ucapan seluruh jiwa disini karena mereka semua sama tersesatnya denganmu. Aku selalu berusaha agar membuat jiwa kalian sedikit tenang disini. Percayalah, penjara apapun pasti ada kuncinya."
Mendengar ucapan Libbie membuat suasana jiwa Alisa menjadi sedikit tentram. Entah mengapa semenjak bertemu dengan gadis berpiyama biru itu, dia merasa harus terus mengikuti perintahnya. Berbeda saat bertemu sang tuan rumah, bertemu Libbie membuatnya merasa aman.
Alisa membiarkan Libbie pergi. Sedangkan dia sendiri fokus pada buku pemberiannya.
R.A.N
"Insial yang sama dengan buku yang pernah ditunjukkan Digo padaku, buku itu ada di kardusnya'kan," herannya mulai membuka halaman pertama yang cukup membuatnya kaget karena berisi foto hitam putih seseorang, "ini ... ini foto mereka lagi."
***
Alisa kembali ke dalam ruangannya dengan membawa beberapa buku. Dia sempat meremas salah satu buku yang memiliki foto itu. Sejak melihatnya di perpustakaan, dia tidak ada keinginan untuk membuka buku itu kembali. Dia duduk di tepi ranjang sembari memeriksa buku yang lain. Kebanyakan buku ini merupakan tulisan tangan seseorang yang pernah tinggal disini.
Butuh beberapa jam sebelum akhirnya Digo masuk serta menutup pintunya dengan wajah panik. Dia membawa sebuah buku bersampul hitam dengan gambar hidup berupa ular melingkar dengan pinggiran yang sudah menguning.
"Digo?" Alisa ikut takut.
Digo mundur dari pintu perlahan. Dia tetap waspada karena ada seseorang yang berusaha mendobrak pintu itu.
Alisa turun dari ranjang, "Ada apa lagi? Bukankah ini pagi?"
"Shh!" Digo mendesis padanya sambil mengangguk-angguk. Dia menahan agar Alisa tidak banyak bergerak sampai dia yakin bahwa dobrakan itu sudah berhenti.
Setelah itu, dia memandang Alisa dengan perasaan lega. "Syukurlah kamu baik-baik saja, apa Libbie menjemputmu tadi?"
Daripada menjawab itu, Alisa menuding pintu dan mengulangi pertanyaannya, "Ada apa lagi?"
"Tak ada waktu lagi, besok hari itu, jadi aku mencuri buku ini dari ruang bawah tanah," kata Digo menunjukkan buku aneh yang kelihatannya membuat urat di telapak tangannya berubah warna kehitaman.
"Kenapa dengan tanganmu?"
"Entahlah, buku ini aneh sekali, aku tidak tahu, disini banyak sekali kutukan, aku tidak punya waktu lagi, kita akan membunuhnya malam ini atau besok teman-temanmu akan dibunuh." Digo segera duduk di tepi ranjang, lalu memperhatikan ular yang memakan ekornya terus menerus bergerak di atas sampul. Ketika dia menyentuh ular itu, tangannya malah semakin menghitam.
Alisa menjadi takut. "Digo, kurasa buku itu berbahaya. Siapa yang mendobrak tadi?"
"Entahlah."
"Digo?"
Digo menatap Alisa sesaat, lalu menepuk ranjang sampingnya, "Duduklah kemari, akan kuceritakan yang kutahu, maksudku prediksi saja, aku tak terlalu paham juga."
Alisa menurutinya. "Apa kamu menyembunyikan banyak hal dariku?"
"Aku hanya menduga itu roh mungkin atau semacamnya."
"Hantu? Seperti kita?"
"Rasanya aneh membahas hantu saat sudah menjadi hantu." Digo tertegun sejenak saat memandangi wajah gelisah gadis itu, "padahal dulu kukira hantu itu mitos. Ternyata kehidupan setelah kematian ... itu ada."
"Jadi?"
"Mungkin yang mengejarku tadi penunggu bawah tanah, mungkin roh jahat atau iblis mungkin. Yang pasti mereka tidak berbentuk, tadi aku merasa dikejar angin saja, tapi rasanya menyakitkan saat mengenai punggungku."
"Apa tak masalah membawa buku ini?"
"Tak masalah untukku," sahut Digo mulai membuka sampul bukunya yang langsung membuat hawa di sekitar mereka mendadak tidak nyaman.
Alisa meneguk ludah. “Jelas masalah ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Escape [END] ✔
HorrorAlisa ditempatkan bersama orang-orang asing di sebuah rumah angker. Mereka terjebak tidak bisa keluar. Tempat ini bagaikan sangkar burung. Dia beruntung karena diselamatkan oleh Digo, penghuni lain di rumah itu, dari kejaran sang pemilik rumah di ma...