Alisa berdiam diri di dalam kamarnya sambil membaca sisa jurnal tentang sosok orang yang bernama Rangga Amir Natadireja (RAN). Ada keyakinan tersendiri kalau pria yang disebutkan berulang kali di dalam buku-buku itu adalah si tuan rumah. Akan tetapi dia masih tidak bisa mempercayai tentang pertukaran jiwa maupun iblis. Walaupun kondisinya sendiri sulit dipercaya, tapi praktek hidup abadi tetap masih sulit dipercaya.
Dia menutup bukunya. "Tidak mungkin."
Gadis ini tidak dapat merasakan kehadiran apapun di sekitarnya. Dia juga tidak mampu menentukan hari sudah malam atau belum. Jadi dia tidak mengerti saat lampu kamarnya seketika padam, lalu digantikan oleh nyala lilin misterius yang tahu-tahu sudah menempel di tembok.
"Eh, Di—Digo?" panggilnya menjadi takut kembali. Dia waspada pada sekitarnya karena yakin udara dingin mulai masuk. Dia memperhatikan setiap lilin yang menempel di tembok, semuanya punya ukuran yang sama, nyala api yang sama, serta lambang lingkaran di tengahnya. Tentu saja dia ingat kalau itu lambang keabadian versi buku yang dibaca Digo.
Dia panik saat mendengar suara-suara aneh di sekitarnya padahal tidak ada siapapun. Namun saat dia berkonsentrasi, suara itu memang terdengar di telinganya, hanya saja lokasinya jauh.
Suara-suara itu seperti rintihan, teriakan, semua orang. Tua, muda, wanita, pria, suara mereka bercampur. Mereka seolah mengatakan, "... lari,lari,lari, cepat lari."
Pintu dibuka cepat sehingga membuat Alisa terloncat kaget.
"Digo!" Panggil Alisa lega saat itu adalah teman sekamarnya, tapi saat ingin mendekat, dia memastikan kalau itu benar-benar Digo. "Digo'kan?"
"Iya, Alisa. Tidak ada orang yang bisa meniru wujud orang lain," sahut Digo menyambar lengannya, "ayo kita melarikan diri ke atap, Libbie sudah mengurus temanmu yang masih hidup, asalkan bersamanya, mereka akan aman semalaman, tinggal besok, kita akan bertemu di luar rumah."
"Atap? Atap apa?"
Digo mengajaknya berlari memasuki salah satu pintu yang ada di lantai dua. "Kita lewat memutar, tidak bisa dari lantai tiga, lagipula sebentar lagi malam, berbahaya."
Ruangan yang mereka masuki seperti kamar pada umumnya, ada banyak perabotan seperti ranjang dan meja. Tempat ini juga memiliki satu pintu lagi.
Alisa masih tidak yakin apa yang barusan dia lihat itu nyata. Suasananya menjadi remang karena hanya diterangi lilin abadi. Hampir semua pintu bergetar seolah-olah tidak ingin ditutup. "Digo, eh—apa yang terjadi? Apa karena ini malam hari dimana hantu dibebaskan? Halloween 'kan? Hal semacam ini benar ada?"
Digo mendorong meja ke belakang pintu. "Iya, sudah kubilang begini kalau malam akhir bulan Oktober. Setiap tahun begini, aku sudah terbiasa, hanya saja, sensasinya tetap menakutkan."
"Kenapa ini harus terjadi?" Alisa melihat pintu satunya yang gagangnya bergerak-gerak sendiri, "kenapa pintu ini menakutkan? Seperti hidup?"
"Semua yang ada disini itu hidup."
Ketika Alisa menoleh untuk melihat lawan bicara kembali, dia berteriak sesaat karena sosok Digo perlahan berubah. Sosok rapi yang selalu memakai jaket kemanapun itu berubah menjadi siswa berseragam putih abu-abu kotor, berwajah pucat, dan dahinya berlubang dengan lumuran darah sampai membasahi matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Escape [END] ✔
HorrorAlisa ditempatkan bersama orang-orang asing di sebuah rumah angker. Mereka terjebak tidak bisa keluar. Tempat ini bagaikan sangkar burung. Dia beruntung karena diselamatkan oleh Digo, penghuni lain di rumah itu, dari kejaran sang pemilik rumah di ma...