-10-

3.1K 211 18
                                    

Nidya

Aku melangkah gusar, menuju rumah besar yang sepi akan kebahagiaan.

Sudah hampir tiga bulan lamanya, aku tidak pernah menginjakkan kaki di rumah ini.

Rumah dimana aku tinggal sejak kecil, dibesarkan oleh dua orang yang sangat luar biasa. Yang setiap harinya ku panggil dengan sebutan papa dan mama.

Langkah kakiku terhenti begitu saja, saat melihat sosok wanita yang sangat aku rindukan sedang duduk tenang di sofa panjang.

"Mama," Panggilku pelan.

Mama tampak terkejut melihat aku berdiri di ambang pintu.

"Nidya?! Ngapain kamu disini-eh maksud saya, kamu baru pulang?"

Aku mengangguk,

"Dari mana aja kamu? Udah puas keluyuran?!" Bentaknya.

"Nidya nggak keluyuran ma, Nidya cuma kesepian di rumah. Mama dan papa selalu pergi!"

"Alasan kamu!" Bentakmya lagi.

Bahkan mama benar-benar berubah, dulu dia tidak pernah sekalipun membentak. Tapi sekarang, tahu aku bikin salah sedikit amarahnya langsung memuncak.

Aku menelan ludah dalam-dalam, tidak ada kata-kata lagi untuk menyanggah bentakan mama.

"Papa nggak ikut pulang ma?" Tanyaku sepelan mungkin.

"Buat apa kamu nanyain papa?"

"Nidya kangen banget sama papa.."

"Mas Radit gak kangen kamu,"

Sakit banget rasanya nahan tangis setelah mendengar ucapan mama tadi.

Mama beranjak dari sofa menuju taman di dekat kolam renang.

"Ma-" Aku masih mengikuti di belakangnya.

Mama tetap diam,

"Nidya mau tanya sesuatu sama mama.."

"Tanya apa?" Jawabnya ketus.

"Kenapa selama hampir empat tahun ini, papa dan mama seolah menjaga jarak sama Nidya?"

"Salah Nidya dimana?"

Dengan sekuat tenaga aku memberanikan diri mengutarakan apa yang selama ini ku tahan.

Mama seperti enggan menjawab,

Cukup lama mama diam, sampai aku sendiri tidak sabar untuk menunggu jawaban.

Sembari mendekat ke arah tempat duduk mama, aku mengeluarkan amplop coklat besar dari dalam ransel yang sejak tadi ku bawa.

"Apa karna ini??" Mama terlonjak saat aku meletakkan amplop tadi di atas meja.

"Dari mana kamu dapat berkas-berkas ini?" Tanya mama tegas sembari merebut amplop tadi.

"Awalnya Nidya nggak tau kalo isi amplop itu akan jadi suatu hal yang besar buat Nidya," Ucapku pelan.

"Mungkin, dulu Nidya nggak pernah merasa curiga kenapa papa dan mama selalu pergi dalam waktu yang lama dan ninggalin Nidya sendiri di rumah."

"beberapa kali Nidya merasa kalian menjaga jarak sama Nidya, tanpa Nidya tau apa yang sebenarnya terjadi!"

Mama masih diam,

"Dan rasa curiga itu semakin muncul, saat Nidya kelas tiga SMP terserang DBD dan butuh donor darah. Papa dan mama bertengkar hebat! Saat itu Nidya mulai sadar papa nggak pernah nyapa Nidya lagi seperti biasa."

Grateful #BaperinloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang