Part 18

25 9 0
                                    


Flashback On


Mark Lee pov.

Ditatap oleh siswa-siswa se-sekolah? Sudah biasa bagi kami. Dibicarakan oleh para siswa dan guru? Itu makanan sehari-hari kami. Menjadi idola kaum hawa di sekolah? Itulah kami. Kata siswa-siswa, kami adalah dua sejoli yang tidak akan terpisahkan. Tapi menurutku itu terlalu berlebihan. Kami hanyalah dua orang yang kebetulan bertemu dan akhirnya bersahabat.

Sepulang sekolah di SMP Hannam

“Marksman!!! Tunggu!!” teriak sahabat karibku dari ujung lorong dekat toilet sekolah. Lee Donghyuck. Dia berlari sekencang-kencangnya menuju kearahku.

“Udah dibilangin jangan panggil aku dengan sebutan itu. Dikira aku penembak jitu apa.” kataku sebal.

Setiap hari dia selalu memanggilku dengan sebutan 'Marksman', walaupun sudah aku larang, tapi namanya juga Lee Donghyuck, nggak akan pernah nurut sama orang lain, terutama aku. Yaa, aku tau itu cuma candaan belaka, tapi kalo sampai orang lain mendengarnya, terus ikut-ikutan memanggilku dengan sebutan yang aku benci itu, bisa gawat nanti. Aku pasti jadi bahan omongan, Mark Lee Si Marksman. Aku benci itu.

“Lah, salah sendiri ninggalin aku di toilet.” kata Donghyuck kesal.

“Kamu lama sih. Jadi aku tinggal.”

“Iya, iya.. Maaf, Marksman.” kata Donghyuck sambil terus tertawa tanpa henti.

“Dasar Donkey!! Udah ah, yuk balik ke kelas.” seruku pada Donghyuck lalu langsung pergi meninggalkannya.

“Apa kamu bilang? Sini aku hajar kamu..” kata Donghyuck marah, lalu berlari mengejarku.

“Dongkey!! Donghyuck Monkey!! Weeww..” kataku sambil menjulurkan lidah kearah  Donghyuck.

“Kena kamu.. Sini aku hajar biar tau rasa..” Donghyuck menoyor kepalaku.

“Ampun!! Kan kamu duluan yang mulai. Harusnya aku yang hajar kamu.” Aku gantian menoyor kepala Donghyuck.

.
.
.

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak 30 menit yang lalu. Aku dan Donghyuck yang ceritanya sudah membolos pelajaran sejak jam ke 7 pun berjalan menuju kelas. Niatnya mau mengambil tas kami. Tapi tiba-tiba dihadang oleh Pak Hendra, guru IPS kami.

Rupanya Pak Hendra baru saja keluar dari kelas kami. Kami yang kaget pun langsung menghentikan langkah kami. Perlahan-lahan berjalan mundur, lalu memutar badan dan langsung berlari meninggalkan Pak Hendra yang berteriak memanggil kami.

“Gara-gara kamu sih, aku jadi ikut bolos pelajaran. Sampai 3 jam pula.” kataku sebal pada Donghyuck.

“Yaa, masa aku harus di ruang musik sendirian. Bosen lah..”

“Kamu juga aneh. Latihan pas jam pelajaran.”

“Lebih enak kalau latihan piano pas yang lainnya pelajaran. Lebih tenang.”

“Kan bisa di rumah, ngapain harus di sekolah?”

“Ahh, kalo itu...” Donghyuck nyengir tak bersalah padaku.

“Tuh kan, kebiasaan. Kamu cuma alasan biar bisa bolos kan? Ngaku deh.”

“Yaa gitu deh..” Donghyuck kembali memperlihatkan cengirannya sambil garuk-garuk kepala.

“Terus nasib tas kita gimana?”

“Tinggal ambil nanti, ribet amat.”

“Terserah deh.. Terus sekarang kita kemana?” kataku bingung.

Hypocrisy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang