Setelah kepergian Mark, Donghyuck masih diam di tempatnya. Pikirannya kosong. Ia masih kaget dengan apa yang baru saja didengarnya dari Mark. Setelah beberapa saat terdiam, ia pun berjalan menuju ruang pribadinya. Donghyuck menatap sendu pianonya. Ia meraba permukaan piano dengan perasaan sedih. Hingga air mata tidak dapat ditahan lagi, ia menangis. Dadanya sesak dan sakit, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. Ia memegangi dadanya. Tangisnya bertambah deras mengingat kenangannya ketika bermain piano dulu. Ingatannya ketika bermain bersama Mark. Tertawa bersama. Bercanda. Dan saling percaya satu sama lain. Dulu, mereka bahagia sekali.
“Aku rindu saat-saat dulu.” Tangis Donghyuck bertambah keras, ia tidak dapat menahannya lagi. Rasa sakit itu sudah ia pendam bertahun-tahun, dan kini ia tidak dapat menahannya lagi. Ia curahkan rasa sakit itu dalam tangisnya kini.
.
.
.Mark sudah sampai di rumahnya. Kini ia sedang menatap bingkai foto yang terletak di meja kamarnya. Tiba-tiba ponselnya berdering di meja, tertulis nama Sara di layar ponsel. Ia hanya menatap layar ponsel tanpa ada niatan untuk mengangkatnya. Dering ponsel berhenti. Mark masih enggan untuk mengambil ponselnya dan menelepon Sara.
Sementara itu di rumah Sara, ia bingung dengan apa yang terjadi. Aneh saja, tiba-tiba Mark tidak ada kabar. Di telepon pun tidak diangkat. Apa terjadi sesuatu antara Mark dan Donghyuck? Di lain sisi, Sara juga memikirkan perkataan kedua temannya kemarin. Sara memegangi dadanya dan berkata.
“Sebenarnya aku khawatir dengan siapa? Mark atau Donghyuck?” Pikiran itu terus terngiang dalam otaknya.
.
.
.Keesokan harinya, Donghyuck baru saja bangun tidur. Kedua matanya bengkak. Ia pun mengompres matanya menggunakan air hangat. Kemudian ia mandi dan sarapan atau bisa dibilang makan siang karena hari sudah siang. Selesai sarapan, ia pergi ke ruang pribadinya. Ia kembali memandangi pianonya.
“Aku akan berusaha keras, Mark. Untuk menggapai cita-citaku, aku akan berusaha keras. Tidak peduli apapun.”
Ia membuka penutup tuts-tuts piano. Kemudian ia mengambil buku not berjudul Beethoven dan membukanya. Ia memainkan Fur Elise menggunakan perasaannya. Ia memainkannya lagi dan lagi. Berulang kali.
Pukul 15.00, waktunya ia diles oleh Pak Herman. Donghyuck kembali memainkan Fur Elise dengan hati-hati. Setelah lagu selesai dimainkan, Donghyuck bertanya komentar Pak Herman pada permainan pianonya.
“Kerja bagus. Kamu sangat mendalami lagunya. Walaupun jari-jari kamu masih kaku, tapi kamu dapat mengatasinya. Bagus.”
Donghyuck tersenyum. Sudah lama sekali ia tidak mendengar pujian dari orang lain. Ia rasanya senang sekali.
“Terima kasih, Pak. Saya janji, saya akan berusaha keras untuk bermain piano lagi.”
“Bagus, Lee Donghyuck. Sekarang kamu bisa ganti lagu. Sebentar saya ambilkan dulu.” Pak Herman membuka tasnya. Ia mengambil buku not lagi, kali ini dengan judul Antonio Vivaldi. “Sekarang kamu mainkan The Four Seasons.”
“Wah, akhirnya. Inilah permainan piano yang sesungguhnya.” Donghyuck mengambil buku not yang ada di tangan Pak Herman.
“Tapi kamu jangan senang dulu. Kalau salah sedikit saja, kamu harus ulangi lagu itu sampai kamu bisa.”
“Siap, Pak.” Donghyuck masih menatap buku itu dengan gembira.
“Sudah lihat-lihatnya, sekarang kamu mainkan.”
“Baik.” Donghyuck pun memainkan The Four Seasons sebaik mungkin. Tapi, Pak Herman memukul tangannya menggunakan tongkat kayu andalannya.
“Kenapa Pak? Ada yang salah ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hypocrisy
FanfictionSara "Lee Donghyuck. Dia, cinta pertamaku. Dia mood booster-ku. Dia selalu membuatku happy, disaat aku sedih. Dia segalanya bagiku. Tapi... Dia licik. Dia menyakitiku tanpa alasan yang jelas." Donghyuck "Sara, mengapa aku menyakitimu? Ini diluar ke...