32 . Perceraian

81 3 0
                                    

Selesai melaksanakan shalat isya' berjemaah, Ran mencium punggung tangan kanan Faiz. Itu pemandangan yang manis sekali. Dalam hati Faiz berharap, ini awal dari kebahagiaan keluarga kecilnya. Faiz memimpin doa yang diamini Ran. Faiz berdoa yang salah satunya adalah agar dia bisa menjadi suami yang baik untuk Ran. Begitu juga sebaliknya. Juga doa-doa yang lain dia panjatkan.

Faiz membaringkan tubuhnya di atas sofa. Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin. Dia menggigil, menekuk tubuhnya sambil bergumam tidak jelas. Mungkin karena terlalu lelah jalan-jalan dua hari ini membuat kondisi kesehatan Faiz menurun.

Ran yang akhirnya mendengar gumaman Faiz duduk melihat ke arah Faiz. Benar saja, Faiz sedang kedinginan. Sontak Ran turun dari  tempat tidur mendekati Faiz.

"Kak, Kakak kenapa?" tanya Ran khawatir. Raut wajahnya jelas menampakkan kekhawatiran.

"Kakak kedinginan, ya?" tanyanya lagi. Tapi tetap saja Faiz tak menjawab.

"Kak, Kakak pindah saja, ya, Kakak tidurnya di kasur, yuk, jangan di sofa. Nanti Kakak tambah sakit."

Faiz pelan-pelan bangun dan berpindah ke kasur seperti saran Ran.
Ran mengizinkan Faiz tidur di kasur karena Ran tidak ingin kondisi Faiz semakin parah. Ran tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika itu benar-benar terjadi.

Ran melihat AC yang masih menyala. Mungkin itu salah satu penyebab suaminya kedinginan. Ran berinisiatif untuk mematikan AC. Lalu Ran mencari handuk kecil, baskom dan air panas di dapur restoran hotel. Ran ingin mengompres Faiz.

Setibanya di kamar, Ran meletakkan handuk kecil itu di kening Faiz. Beberapa menit berlalu, namun tetap saja Faiz menggigil. Padahal panas kepala Faiz sudah sedikit menurun. Berkali-kali Ran membasahi handuk kecil itu dengan air di baskom yang sudah semakin dingin. Ran bertambah khawatir. Tak sadar mata Ran meneteskan air mata. Ran menangis tersedu-sedu sembari menatapi wajah Faiz yang masih pucat pasi. Bibirnya masih agak bergetar, tapi lebih pelan dari semula.
Dengan sabar Ran merawat Faiz hingga ia jatuh tertidur di bibir tempat tidur.

=============

Keesokan harinya saat Faiz terbangun dari tidurnya, Faiz menemukan handuk kecil yang sudah kering nangkring di keningnya. Juga Ran yang tertidur dengan posisi duduk di lantai. Faiz tersenyum bahagia saat mengetahui istrinya sangat perhatian padanya. Yang membuat Faiz lebih bahagia lagi, Faiz melihat jejak air mata yang belum sempat atau mungkin juga lupa Ran hapus. Itu membuat Faiz yakin kalau Ran sempat menangisinya saat dia sakit semalam.

"Ran, bangun. Ini sudah jam tujuh, loh!" kata Faiz membangunkan Ran.

Ran terbangun dan langsung melihat Faiz.

"Kakak sudah sadar?" tanya Ran seraya mengecek kening, leher dan telapak tangan Faiz berurutan dengan cepat dan berkali-kali memastikan kalau Faiz sudah sembuh dari demam semalam.

"Kakak sudah sembuh, kan?" Ran bertanya lagi, memastikan sekali lagi.

"Ya, sudah sembuh, dooong, kan, sudah dirawat dan diperhatikan sama istri aku," ujar Faiz sembari tersenyum ke arah Ran.

"Iiih, kok, malah godain aku, sih?!"

"Lah, kok, malah dituduh ngegodain, sih, orang aku serius, kok. Banget malah."

"Ih, ya, gimana aku nggak panik coba. Di sini cuma ada aku. Kalau ada apa-apa sama Kak Faiz, kan, berarti itu tanggung jawab aku. Nanti aku malah yang disalahin sama Ummi, Abi dan adik-adik kamu," jelas Ran.

"Masa, sih? Yakin, cuma karena takut disalahin?"

"Iya," jawab Ran singkat seraya mengangguk-anggukkan kepala mantap.

[TAMAT] You're Mine (Raniz) (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang