Extra Part 1 (Mira-Azka)

72.9K 5K 151
                                    

Ideku lagi mengalir di sini, jadi aku update ini dulu. Mohon maaf untuk cerita lain blm sempat di-update. Kalau mau minta cerita lain di-up, komen di lapaknya ya, jangan di sini. Dari kemarin rasanya risih, update di sini, tapi komen nanya kapan up untuk judul lain. Maaf banget semisal aku terlalu sering ngecewain pembaca karena nggak kunjung update, nggak adil update di beberapa cerita, mungkin aku pikirkan untuk mundur dari wattpad suatu saat nanti, daripada ngecewain terus. Mohon maaf ya bukan bermaksud nggak tanggung jawab sama karya atau ngecewain, tapi banyak hal yang lebih prioritas.

Aku akan kembali mengambil setting Purwokerto, karena aku cinta banget sama kota ini 😁

Happy reading....

Mira memasukkan sebagian baju pemberian Lulu ke dalam koper. Baju-bajunya banyak yang tertinggal di apartemen Azka. Sementara itu, Lulu menatap Mira dengan raut wajah yang datar.

“Lo beneran mau pindah ke Purwokerto?” tanya Lulu setengah tak percaya.

Mira mengangguk, “Iya. Aku masih punya nenek di sana. Bukan nenek langsung sih, dia adik dari nenekku, tapi orangnya baik dan memperlakukanku kayak cucu langsung. Sebenarnya aku masih punya paman, adik dari ibuku tapi jauh di Kalimantan. Sedang ayahku, kamu sendiri tahu lah gimana perangainya. Waktu ibu meninggal saja, dia tidak datang. Apalagi sudah sibuk dengan keluarga barunya.”

Lulu tercenung. Rasanya berat berpisah dengan sahabat baik yang sudah seperti saudara.

“Di Purwokerto lo mau ngapain, Mir? Di sana kan kota kecil. Temen gue pernah cerita katanya gajinya kecil. Ya emang sih, biaya hidup terhitung masih murah. Sedang lo butuh biaya bukan buat hidup lo sendiri tapi juga calon anak lo.”

Mira tersenyum lalu duduk dan menghadap sahabatnya.

“Nenekku jadi pengurus di pondok pesantren. Katanya di sana kekurangan tenaga buat bagian dapur. Aku kan suka masak. Rasanya aku cocok kalau kerja di sana. Dapat tempat tinggal pula. Jadi para pengurus pondok tinggal di pondok juga. Udah gitu aku bisa belajar ngaji."

Lulu mengernyitkan alis.

“Lo yakin, mereka mau menerima lo yang notabene hamil tanpa suami? Pondok itu tempatnya orang-orang alim.”

Mira menunduk. Sebenarnya ia juga tak yakin apakah pondok akan menerimanya. Namun ia pernah dengar neneknya bercerita bahwa banyak santri-santri yang dulunya nakal digembleng di pondok, alhamdulillah bisa berubah jadi lebih baik. Ia harap, ia akan diberi kesempatan oleh pihak pondok untuk bekerja sekaligus belajar agama di sana dan menerima keadaannya yang tengah berbadan dua.

“Aku harap mereka menerimaku. Aku ingin memberikan lingkungan yang baik untuk anakku kelak, Lu.”

Lulu menghela napas.

“Ya, Mir. Keputusan lo udah tepat. Gue pesen satu hal, jauhi kehidupan malam. Lo udah mau jadi ibu.” Ada rasa getir yang mencekat dan menghimpit dada. Sesak rasanya ketika seorang Lulu harus memberikan nasihat ini pada Mira sementara dirinya belum keluar dari dunia malam.

Sebenarnya Lulu sangat menyayangkan keputusan Mira saat mencoba bekerja plus-plus di club malam. Namun ia tak berhak mengatur hidup Mira sementara saat itu, almarhumah ibunya sedang butuh biaya pengobatan yang besar.

“Jangan jadi kayak gue, Mir. Gue seorang ibu yang gagal, yang nggak bisa dijadiin contoh. Anak gue di kampung, gue titipin sama neneknya. Dia tahunya ibunya kerja di kota, jadi karyawan pabrik. Tiap mudik lebaran bawa uang banyak, baju-baju bagus. Dia cerita ke teman-temannya, bangga banget punya ibu kayak gue. Dia nggak tahu aja, pekerjaan ibunya kayak apa...” Setitik air mata jatuh. Duka itu kembali menganga di balik senyum palsu yang sering kali Lulu kerlingkan di depan para pria hidung belang yang memintanya menemani minum. Dilecehkan sudah biasa. Terkadang rela digrepe-grepe demi uang. Hanya satu prinsipnya, dia nggak mau ditiduri. Cukup sudah sang mantan suami yang pernah berlaku sewenang-wenang dengan menjual dirinya pada laki-laki hidung belang demi untuk membayar hutang.

Lulu adalah gambaran satu perempuan dari sekian banyak perempuan yang memilih bekerja di dunia malam karena awalnya “dijerumuskan”. Ia berpikir, sudah terlanjur basah, maka mencebur saja sekalian. Ia kadang berpikir klise, ia butuh uang banyak untuk biaya anaknya, orang tuanya, dan sekolah adik-adiknya. Kerja di tempat lain gajinya tidak mencukupi hingga akhirnya ia pilih kerja di club malam yang gajinya lebih besar meski harus mengorbankan harga diri jika sedang menemani tamu minum. Baginya bertahan untuk tidak mau diajak bergumul di ranjang dengan bayaran fantastis saja sudah prestasi besar untuknya.

Mira tak pernah menghakimi apapun pilihan Lulu. Ia tahu, di balik kesan liar dan nakal yang ditampilkan Lulu, wanita itu memiliki sisi lain yang tak banyak orang tahu. Dia seorang yang setia kawan, tulus dalam menolong, tanpa pamrih, memiliki kepedulian yang tinggi, dan tak pernah meremehkan orang lain kendati dirinya sendiri sering kali disepelekan dan direndahkan. Mira selalu menyebut nama itu dalam doanya, berharap suatu saat Lulu keluar dari pekerjaannya dan mendapat ganti yang lebih baik dengan pekerjaan yang halal dan berkah, seperti dirinya yang berniat untuk memperbaiki diri.

Mira mengusap pundak sahabatnya.
“Kamu ibu yang luar biasa, Lu. Wajar jika anakmu bangga sama kamu. Aku janji saat nanti tiba di Purwokerto, aku akan menghubungimu. Dan ingat pesanku, jangan beri tahu Azka alamatku. Aku yakin dia akan mencariku di club.”

Lulu mengangguk.

“Ya, gue nggak akan menceritakan alamat lo sama siapa pun. Meski gue ingin tahu juga reaksi Azka setelah tahu lo hamil. Kadang gue mikir, kenapa lo nggak kasih dia kesempatan?” tanya Lulu menelisik.

Mira mengembuskan napas. Kata-kata Azka yang mengatakan bahwa ia tak suka pernikahan dan menyebutnya jalang begitu menyakitkan. Ia ingin menjauh dari pria itu.

******

Azka mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Ia mencari-cari satu sosok yang membuatnya tak bisa fokus memikirkan hal lain. Satu sosok yang sangat ia rindukan. Satu sosok yang mengajarkannya akan sakit yang teramat karena kehilangan.

Azka menuju ruang karaoke, berharap menemukan Mira di sana. Sayangnya tak ada satu pun tanda jejak sang wanita masih menyambangi tempat itu. Ia bahkan bertanya pada setiap karyawan juga manajer club, tapi tak ada satupun yang tahu.

Laki-laki itu mengerang frustrasi. Ia minum beberapa gelas untuk mengusir kepenatan, tapi yang ada pikirannya justru semakin semrawut tak karuan. Ia bertanya-nyata, satu pertanyaan retoris yang tak butuh jawaban apapun, kenapa Mira tega menyiksanya seperti ini?

Penyesalan tiada guna... Terkadang ia berandai, jika saja malam itu, ia tak marah dan tak berkata pedas pada Mira, mungkin malam ini ia masih bisa melihat senyumnya, mendengar suara dan tawanya, mendengar suara kran di dapur saat Mira mencuci piring. Sungguh ia merindukan wanita itu... Segala ruang di hatinya seakan menjerit, memanggil nama itu untuk kembali.

Sementara itu Mira yang tengah berada dalam perjalanan menuju Purwokerto, menerawang ke arah luar jendela bus. Lampu-lampu yang berkerlip dari rumah-rumah maupun gedung-gedung membuatnya semakin sedih. Kontras sekali, kecerahan sinar lampu yang menyala tak sejalan dengan hatinya yang meredup. Matanya diselimuti kabut kesedihan, teringat akan almarhumah ibunya. Perasaan bersalah dan berdosa menyergap jika teringat akan dosa-dosanya bersama Azka. Dosa yang pastinya akan mengecewakan sang ibu jika ibunya masih hidup.

Pikirannya berkelana pada sosok lelaki yang namanya sudah terlanjur mengakar di hati. Ia minta satu hal pada Allah agar bisa melupakan jejak pria itu dengan mudah. Namun ia tahu, semua kembali pada dirinya. Sanggupkah ia menghapus jejak itu? Sementara tanpa disadari, ia biarkan nama itu hidup sebagai kenangan yang terus bersemayam dan bisa melintas kapan saja. Seperti sekarang kala sebuah lagu romantis berlirik tentang kerinduan mengalun di penjuru bus, hatinya bergetar mengingat segala kenangan bersama Azka. Kendati hal kecil sekalipun, tapi mampu membawanya kembali pada sosok yang telah menambatkan cinta di hatinya.

Mira mengusap perutnya. Ia merasa rendah dan hina, tapi ia tahu masih ada kesempatan untuknya bertobat, meretas kembali kehidupannya dari nol. Ia harus bisa tersenyum meski dalam getir, ia harus bahagia meski bertabur luka, ia harus kuat meski terkadang rapuh, ia harus terus melangkah, meski kadang ingin menyerah, dan ia harus terus berjuang meski semesta seolah memintanya berhenti... Ia harus kuat, bahagia, pantang menyerah... demi anaknya...ya demi anaknya.

******

Pendek dulu buat pembukaan. ❤️. Terus voment ya, makasih banyak.

Arranged Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang