Part 2

104K 8.9K 280
                                    

Suka gak sama cerita ini? Kalau suka voment ya, hehe....

Btw mungkin banyak pembaca greget dengan karakter Rhea yang lemah, nangisan. Jadi karakter dia di awal memang seperti ini dan di real pun banyak tipikal kayak Rhea, yg hopeless, rapuh, rentan depresi. Ikuti saja ya, perkembangan karakter itu pasti ada. Untuk seorang Rhea bisa berubah lebih strong itu butuh waktu dan tahap, nggak bisa langsung berubah. Aku harap sih cerita ini nanti bisa ngasih manfaat terutama dalam memberi info strategi coping. Jadi setiap individu punya strategi coping untuk menanggulangi masalah dan stres. Rhea di sini memilih menarik diri dari sosial, menghindari sesuatu yang bisa membuat masalah. Aku pingin ngasih cerita perjuangan Rhea dalam memilih coping yang positif untuknya menghadapi segala tekanan dan permasalahan.

Happy reading..

Malam ini Gavin memesan makanan dari restoran langganannya untuk makan malam. Ia memesan beef steak. Gavin memesan dua porsi untuknya dan Rhea.

Atmosfer di ruang makan itu terasa begitu canggung. Dua-duanya melahap makanan masing-masing tanpa bersuara. Sebelumnya, Gavin hanya mengajak Rhea makan dengan kata-kata singkat dan datar.

Gavin mengamati cara Rhea memakan makanannya. Ia lambat sekali dalam memotong steak dan mengunyahnya. Ia hanya mengambil sedikit daging steak lalu dikunyah pelan. Di mata Gavin, Rhea tidak terlihat menikmati makanannya. Ia menduga badan Rhea kurus karena sedikit makan.

Rhea mengangkat wajahnya dan melirik Gavin sekilas. Gavin yang tengah memperhatikannya pun salah tingkah karena kepergok tengah menatap gadis berperawakan mungil itu. Segera Gavin mengalihkan pandangannya pada steak di hadapannya.

Rhea merasa tak enak sendiri. Ia selalu bertanya-tanya kenapa terkadang Gavin menatapnya tajam dengan raut wajah yang dingin. Apa ada yang salah dengannya? Apa ada yang salah dengan caranya berpakaian atau dengan caranya makan?

Seusai makan, Gavin meletakkan piring dan gelasnya di wastafel. Rhea terkejut saat air kran mengucur dan Gavin mencuci piring sendiri. Ia tak menyangka, CEO yang dingin dan tampak gahar itu berinisiatif mencuci piring sendiri. Ia pikir, mungkin Gavin memang terbiasa mengerjakan semua sendiri karena sebelum menikah, ia tinggal sendiri di apartemen.

Rhea menyudahi makannya. Ia beranjak dan membawa piringnya untuk dicuci. Tatkala ia membalikkan badan, Gavin melangkah dari arah yang berlawanan. Tanpa sengaja, mereka bertabrakan hingga piring dalam genggaman Rhea terpelanting dan pecah berkeping-keping.

Gavin menggeleng, “Astaga... Kamu ini punya tenaga, nggak, sih? Bawa satu piring aja nggak bisa. Makanya makan yang banyak, biar bertenaga dan nggak lemah. Kesenggol dikit saja, piringnya jatuh.” Nada bicara Gavin lagi-lagi terdengar sewot.

Rhea cemas dan merasa bersalah karena kurang berhati-hati. Matanya berkaca. Jika saja ia tak membendungnya kuat-kuat, mungkin air mata itu sudah lolos.

“Maaf... Aku akan mengganti piringnya,” balas Rhea terbata. Tangannya gemetaran. Jari-jari itu kembali bertaut. Rhea meremas jari-jarinya untuk menetralkan kecemasan yang mengacaukan konsentrasinya.

“Mengganti pakai apa? Ayahmu bangkrut. Honor menulismu juga belum tentu bisa mengganti. Aku tidak akan memintamu mengganti piring ini. Sekalipun aku sudah transfer uang ke rekeningmu sebagai uang nafkah dariku, tapi aku nggak mau kamu pakai uang itu untuk membeli piring. Lebih baik kamu pakai buat beli baju yang bagus dan nggak kuno.” Gavin menelisik pakaian yang dikenakan Rhea. Ia mengenakan sweater rajut, lagi-lagi kedodoran. Sweater itu dipadu dengan celana panjang.

Rhea mengamati pakaian yang ia kenakan. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa model bajunya kuno? Rhea lebih suka mengenakan pakaian longgar. Satu hal lagi yang ia pikirkan, Gavin mentransfer uang ke rekeningnya? Rhea belum mengeceknya.

Arranged Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang