Rasanya seluruh tubuh Danil basah karena keringat. Cowok itu menumpah habis isi botol air mineral sisa dia minum dan membasuh muka ke kepala, setelah itu dia melempar botol plastik kosong itu ke kardus.
Permainan sudah selesai, timnya masuk ke semi final yang akan dilaksanakan dua minggu mendatang. Danil melihat arloji di tangannya, pukul setengah tiga sore. Matanya menelanjangi setiap pinggir lapangan, sejak tadi dia tidak melihat si gadis berambut panjang diurai hampir menutup wajah yang tadi berangkat dengannya. Cowok itu berjalan ke bawah pohon rindang yang tidak jauh dari lapangan, teman satu timnya sudah di sana berteduh.
Danil duduk di samping Yosep. Mereka duduk di atas batu-batu kerikil di bawah pohon beralaskan kardus bekas air mineral yang sudah dirobek-robek. Cowok itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke samping, lebih dekat dengan Yosep.
"Pak Mukhlis mana?" tanya Danil pelan.
"Ngapain lo nyariin Pak Mukhlis?" Yosep malah bertanya balik dengan suara tidak tanggung-tanggung. Teman satu timnya langsung menoleh ke arah mereka.
"Mulut toa!" Danil menyiku Yosep. "Ya, gue cuma tanya," ujar Danil. Padahal ada alasan di balik pertanyaannya. "Gue nggak ada liat Pak Mukhlis. Dia, kok, nggak kasih kita selamat, ya?" Sumpah, bukan ini yang mau Danil bahas. Dia mengusap tengkuknya sambil menatap datar orang-orang di lapangan yang bersiap lomba.
"Udah tadi, lo aja nggak dengar karena belum ke sini," kata Ruslan, teman satu timnya.
"Oh, udah, ya?" tanya Danil kikuk.
"Oh iya," ujar Ruslan lagi, "thanks, berkat lo kita bisa masuk semi final. Berkat latihan beberapa hari sama lo kemajuan kita pesat banget."
"Emang biasanya nggak pernah sampai semi final?"
"Jangankan semi final, babak pertama aja kita udah dihabisin. Kalah telak," celetuk Yosep. Dia menepuk bahu Danil. "Lo kayaknya bawa keberuntungan buat tim sepak bola SMA Bakti." Yosep terkekeh di ujung kalimatnya.
Danil jadi tidak enak dipuji seperti itu, padahal latihannya masih malas-malasan. Tadi bermain juga banyak mengeluh karena cuaca yang sangat panas. Ya ... mau bagaimana lagi, apa yang dia lakukan sekarang tidak sepenuhnya keinginan diri. Dulu, dia sangat senang walaupun main bola sambil panas-panasan, tetapi sekarang semangat itu sudah pudar. Karena apa yang dilakukan dengan tidak ikhlas memang berat. Namun sekarang Danil sadar, ada yang bermainnya biasa saja tetapi memiliki semangat yang luar biasa, harusnya dia bersyukur dianugerahi keahlian bermain sepak bola.
"Nanti kita sering-sering latihan sebelum semi final," ujar Danil tulus. Sekarang, dia di tim ini. Di sekolah ini, SMA Bakti. Maka dia juga harus berbakti untuk sekolahnya sekarang. Danil harus tanggung jawab dengan pilihan asalnya yang tanpa pikir panjang mengambil ekskul sepak bola waktu itu. Tugasnya sekarang hanyalah membangunkan lagi rasa sukanya terhadap sepak bola yang sedang tidur. Harusnya, sih , tidak terlalu sulit.
"Siap!" jawab teman-teman timnya serempak dan penuh semangat.
"Lo nggak nyari anak lo?" tanya Yosep dengan nada mengejek. Dia tahu Danil mencari gadis itu, sudah jelas tadi saat temannya itu celingak-celinguk ke sekitar lapangan.
Dahi Danil berkerut. "Gue lajang," ujarnya. "Anak pala lo kali ah!"
"Lo 'kan udah kayak bapaknya Radea aja," jelas Yosep, memberitahu mengapa dia menyebutkan 'anak' sebelumnya. "Bukannya lo sudah menganggap Radea tanggung jawab lo? Dengan kata lain anak angkat."
"Dia 'kan tadi ke sini sama gue, jadinya gue merasa punya tanggung jawab aja. Nggak jadi anak angkat juga," kata Danil tidak terima. "Lagian bisa dimarahin orangtuanya gue ngangkat anak orang sembarangan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert VS Ekstrovert ✔️
Teen Fiction(TAMAT) Danil, anak baru yang kebetulan duduk sebangku dengan Radea. Cewek aneh yang tidak punya teman satu pun. Danil yang punya sifat mudah bergaul, terus mengganggu Radea dan bertekad agar gadis itu mau menjadi temannya. Semakin lama, Danil sada...