32 || Hari Terakhir

265 45 4
                                    

Seperti yang Radea bilang semalam, mereka akan melanjutkan obrolan keesokanharinya, yaitu hari ini. Saat ini hanya ada Danil dan Radea di kelas karena masih sangat pagi, pintu gerbang baru dibuka saat mereka datang.

Danil dan Radea duduk berdampingan di bangku mereka yang esok hanya akan menjadi bangku Radea sendirian. Ya, sendiri lagi. Radea menarik napas mengingat fakta itu.

"Ra, ada yang mau lo tanyain?" Danil buka suara sembari menoleh pada Radea. Namun, gadis itu hanya diam. "Ra ...."

Hening.

Sunyi cukup panjang membentang di antara mereka sampai akhirnya helaan napas Radea mulai mencairkan suasana.

"Apa kamu nggak bisa di sini aja, Nil?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Radea dengan sangat tidak tahu dirinya.

Mata Danil melebar, menatap ekspresi memohon Radea yang tidak pernah dia temukan sebelumnya. "Ra—"

"Iya, aku tau kamu pasti mau dekat sama orang tua kamu. Jangan pikirin permintaan aku tadi," potong Radea. Dia sadar, tidak mungkin menyalurkan bebannya pada Danil. Tidak mungkin membuat cowok itu dalam keadaan sulit hanya karena permintaan bodohnya.

"Kalau sewaktu-waktu lo butuh gue, lo bisa telepon gue kapan aja. Kalau lo pengen jalan-jalan, telepon gue." Danil meraih tangan Radea di atas meja. "Apa pun, telepon gue."

Tubuh Radea berubah kaku saat merasa hangat telapak tangan Danil di punggung tangannya. Radea refleks menarik tangannya, tetapi Danil malah memegangnya semakin erat.

Dua sudut bibir Radea tertarik datar, harusnya dia tidak perlu merasa terlalu kehilangan, bukan? Toh, sekarang ada Galang yang menemaninya setiap jam istirahat. Cowok itu juga rutin mengirimkan pesan padanya setiap hari.

Mata Radea jatuh pada tangannya yang digenggam Danil di atas meja. Gadis itu tersenyum miris. "Kalau kamu pergi, itu tandanya kita juga sudah berakhir, Nil. Kamu yang paling tau aku gimana. Aku buka orang yang bisa kamu temukan di berbagai tempat."

"Kamar, sekolah, dan toko buku di depan jalan."

"Iya, dan kalau kamu sudah pindah nanti, ketiga tempat itu bukan tempat yang normalnya kamu datangin."

****

Keputusan Danil sudah bulat untuk pindah sekolah, semua berkas kepindahannya juga sudah beres. Hari ini benar-benar menjadi hari terakhirnya di SMA Bakti. Danil memanfaatkan hari ini untuk berpamitan dengan teman-temannya yang ada di setiap angkatan itu. Padahal baru beberapa bulan, tetapi Danil sudah punya teman banyak. Setidaknya, di satu kelas dia kenal satu orang. Mungkin karena Danil adalah salah satu yang paling terkenal di ekskul sepak bola, di mana pertama kalinya tim sepak bola sekolah meraih kemenangan saat cowok itu masuk.

Yang dia kenal pun kebanyakan cowok dan anak ekskul sepak bola. Danil sendiri bukan cowok yang suka memanfaatkan wajah gantengnya, karena dia tidak suka godain cewek lewat. Malah, siswi-siswi di sekolah ini yang banyak cari perhatian dengannya. Namun, hal itu tentu saja tidak menarik perhatian Danil. Cowok itu pertemanannya memang luas, sekadar itu saja. Danil bukan cowok bad boy yang suka gonta-ganti pacar, mantannya saja bisa dihitung jari di satu tangan.

Danil datang ke kelas XII, yaitu kelas Arka. Dia menepuk bahu teman satu indekosnya itu, membuat sang empu menoleh.

"Eh, lo mau pindah, ya, gue dengar-dengar?" tanya Arka.

Danil duduk di atas meja Arka. "Iya, Ar."

"Kok nggak bilang-bilang, sih?"

"Ini gue mau bilang, makanya datangin lo."

"Maksud gue, kenapa nggak bilang pas di kos gitu?"

Danil berdeham. "Nggak sempat."

Mereka berdua mengobrol di meja Arka, di bagian belakang. Kelas ini ramai walaupun sedang jam istirahat. Mata Danil menelanjangi sekitar, tetapi dia tidak menemukan Galang.

"Bukannya lo sekelas Galang, ya?" tanya Danil sepelan mungkin, agar hanya Arka yang mendengar.

"Iya." Arka menatap Danil seperti baru teringat sesuatu. "Oh, iya. Kalau nggak salah Yosep pernah bilang lo satu bangku sama ...." Arka menggantung kalimatnya karena lupa dengan nama yang hendak dia sebutkan.

"Sama Radea," kata Danil menyambung ucapan Arka yang terputus.

"Iya, itu. Emang dia pacaran sama Galang, ya? Rame banget setiap hari di sini Galang sama teman-temannya nyeritain Radea sambil ketawa-ketawa."

Alis Danil berkerut. Tentu saja dia tidak membenarkan pertanyaan Arka. "Nggak pacaran setau gue." Cowok itu menantap Arka penasaran. "Emangnya mereka ceritain Radea apa?"

Arka mendengkus. "Biasalah, setiap salah satu dari geng mereka dekat sama cewek atau punya pacar, pasti mereka jadiin topik hangat. Nggak punya otak, sih, kalau gue bilang cowok kayak mereka, tuh. Perempuan cuma dijadiin objek mainan."

Masih belum mengerti, Danil mendengar dengan saksama ucapan Arka. Cowok itu mengangkat satu alisnya saat Arka berhenti bicara, seolah menuntut penjelasan lebih.

"Ck," decak Arka, "lo pahamlah maksud gue apa. Mending kalau lo temenan sama Radea, dilarang aja, deh, gaul sama Galang. Kasian gue anak polos kayak dia jadi korban orang-orang nggak ada otak kayak mereka. Bisanya cuma sembunyi lewat image jenius dan muka gantengnya doang."

Karena melihat wajah bingung Danil, Arka kembali bicara, "Masa gue belum pernah cerita, sih, kasus tahun lalu?"

"Belum. Ceritain ke gue semua. Sekarang," pinta Danil.

Sebenarnya, apa yang sudah Danil lewatkan? Apakah yang Danil ketahui tentang Galang selama ini belum seberapa? Memacari cewek, menjadikannya objek mainan dan melecehkan mereka dengan alasan saling suka, apa kerjaan Galang dan gengnya lebih parah daripada itu?

****

Perasaan bimbang kembali menyerang Danil, perasaan yang sama seperti saat pertama kali mendengar tawaran mamanya untuk pindah dari SMA Bakti. Mendengar cerita Arka tadi siang, ditambah obrolannya dengan anak-anak indekos setengah jam yang lalu membuat pikiran Danil tidak tenang. Namun, sudah terlambat untuk menolak, karena seluruh berkas pindah sekolah sudah selesai diurus.

Cowok itu sendiri sadar, dia sudah masuk terlalu dalam di kehidupan Radea sampai-sampai dia sekhawatir ini. Namun, Danil tidak menyimpulkan perilakunya itu karena perasaan suka, melainkan karena pertemanan. Karena Radea butuh sesosok teman. Hanya itu.

Sepatu-sepatu Danil di rak sudah berpindah ke dalam kotak. Dia memperhatikan setiap sudut kamar, memastikan sekali lagi bahwa tidak ada barang yang ketinggalan. Danil mendesah, ternyata sampai di sini saja.

Dengan sangat berat hati, Danil melangkahkan kaki keluar kamar membawa kopernya, serta tas di punggung. Pelan-pelan dia menuruni setiap anak tangga, sambil sesekali bayangan hari pertama dia membawa koper yang sama menaiki tangga ini untuk melihat kamar yang menurutnya sangat aneh itu.

Danil memasukkan koper serta tasnya ke mobil. Orang tuanya mengirimkan sopir untuk membawa barang-barang Danil, sedangkan cowok itu akan pulang naik motor.

"Udah semua ini, Mas, barangnya?" tanya sopir itu.

"Belum, Pak, masih ada di atas. Tunggu, ya."

"Oh, iya, Mas."

Danil kembali lagi ke lantai atas sambil berlari kecil. Dia mengambil dua kotak yang disusun, lalu diangkat bersamaan.

Langkah Danil berhenti di depan pintu kamar Radea. Beberapa detik dia diam memandangi pintu kamar itu, sebelum akhirnya memutuskan meletakkan ke lantai kotak yang dia bawa. Namun, saat tangan Danil sudah di udara dan bersiap mengetuk pintu itu, hatinya malah berkata 'tidak' dan 'jangan'.

Tangan Danil berhenti tepat satu senti di depan pintu, dan akhirnya memilih menurunkannya lagi. Danil mengambil kembali kotaknya, lalu kembali turun tangga untuk pulang.

Benar-benar pulang.

*****
TBC

Segini dulu.
Maaf kalau ada typo.

Introvert VS Ekstrovert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang