Bel pulang sudah berbunyi sekitar empat jam yang lalu, tetapi Radea masih duduk di perpustakaan. Ia berkutat pada buku tebal yang bagi sebagian orang dapat membuat kepala berasap, tetapi tidak berpengaruh untuknya. Justru buku itu adalah pelarian agar pikirannya tidak ke mana-mana. Tidak tentang Danil, tentang Galang, atau bahkan kehidupan dirinya sendiri yang tidak jelas. Buku itu mampu menarik perhatiannya seratus persen. Buku paket matematika.
Radea akan pulang jika semua anak ekskul sudah pulang dan pintu gerbang akan ditutup, biasanya sekitar jam tujuh malam. Setelah itu, rencananya ia akan mampir dulu ke toko buku, mencari buku baru yang nanti akan bertengger di rak dalam kamarnya.
Gadis itu menyalakan layar ponselnya untuk melihat jam. Jam tujuh kurang dua puluh menit, ia harus beres-beres sekarang.
Radea mengembalikan buku matematika tadi ke rak di mana ia mengambil, kemudian memasukkan semua alat tulisnya ke tas. Gadis itu keluar perpustakaan yang sepi. Radea melangkah cepat, hari sudah hampir gelap sepenuhnya.
Saat melewati gerbang, ia berjalan menunduk melewati Pak Satpam yang siap menutup gerbang. Satpam itu menatap Radea sembari geleng-geleng, tetapi Radea tidak ambil pusing. Tatapan seperti itu sudah jadi makanan sehari-harinya.
Setelah berjalan dua belas menit, sampailah Radea di toko buku pinggir jalan. Toko buku tua yang tidak begitu besar, tetapi menjadi tempat favoritnya untuk membeli buku. Keadaan yang sepi adalah salah satu alasan kenapa Radea sering ke sana, selain dekat dari tempat ia tinggal tentunya.
Gadis itu berkeliling sambil membaca blurb beberapa novel. Sekarang di tangannya ada lima novel, tetapi ia hanya akan membeli tiga. Radea sudah berjanji dengan dirinya sendiri untuk tidak menumpuk novel yang belum dibaca di rak dalam kamarnya yang sudah penuh itu. Walaupun nyatanya, masih ada empat buku yang belum ia baca di rumah.
Tiga buku pilihannya adalah novel remaja, antologi puisi, dan antologi cerpen genre horor. Genre horor, sangat jarang sekali Radea membelinya.
Radea mengulurkan debit card kepada kasir untuk pembayaran tiga buku pilihannya.
"Terima kasih," ucap kasir tersebut sembari memberikan struk dan debit card milik Radea.
Gadis itu membalas dengan anggukan sembari tersenyum tipis.
Tujuan Radea selanjutnya adalah ... pulang.
****
Pukul dua belas dini hari, seorang cowok masih duduk di meja belajar dalam kamarnya. Ia menggigit kuku jempolnya dengan tatapan lurus, tetapi kosong. Suara-suara dari kamar sebelah terus mengganggunya setiap malam
Bukan takut lagi yang dia rasakan, tetapi penasaran. Penasaran karena ia sudah punya kecurigaan. Suara pintu terbuka dari kamar sebelah membuat Danil langsung beranjak, ia pun menuju pintu kamarnya.
Ragu, serta takut kecurigaannya benar. Tangan Danil menggenggam knop pintu kuat, perasaan ragu itu menyeruak dalam dadanya. Sebenarnya manusia seperti apa dia itu?
Danil menarik napasnya dalam, ia tidak bisa terus diam dan menebak-nebak saja. Ia sudah pernah melihat sosok itu, dan itu memang bukan hantu. (Dan yaaa ... Karena ini bukan cerita hantu wkwk ups)
Dengan yakin, dia menarik knop itu ke bawah. Pintu perlahan terbuka. Danil mengintip keluar, kosong. Ya, dia terlalu lama berpikir.
Danil melangkahkan kakinya keluar kamar. Jantungnya berpacu lebih cepat, bukan karena takut akan sosok itu. Namun, karena ia sudah melanggar peraturan indekos ini.
Kaki cowok itu bergerak pelan dan hati-hati menuju kamar yang selama ini tidak seorang pun boleh mengganggunya. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, sepertinya benar pendengaran Danil tadi bahwa ada suara pintu terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Introvert VS Ekstrovert ✔️
Teen Fiction(TAMAT) Danil, anak baru yang kebetulan duduk sebangku dengan Radea. Cewek aneh yang tidak punya teman satu pun. Danil yang punya sifat mudah bergaul, terus mengganggu Radea dan bertekad agar gadis itu mau menjadi temannya. Semakin lama, Danil sada...