20 || Sate

388 52 5
                                    

Danil cepat-cepat menghabiskan setiap daging ayam yang ditusukkan pada bambu yang sudah dibentuk panjang kecil itu. Dia tetap menepati perkataannya mengenai makan bersama Naraya di tempat penjual sate yang sering mereka kunjungi dulu. Danil terburu-buru, dia sama sekali tidak selera memakan sate favoritnya itu.

Cowok itu membuka kunci ponselnya yang diletakkan di samping piring. Nihil. Belum juga ada balasan dari gadis yang dia hubungi sejak tadi. Bukan hanya khawatir, dia juga merasa bersalah.

Tadi, Danil meninggalkan Radea tanpa sempat memberitahukannya. Cowok itu pulang mengantar Naraya, kemudian makan sate bersama dengan gadis itu, saat ini. Danil sudah mengirimi puluhan pesan pada Radea, tetapi sama sekali tidak dibalas. Danil juga sempat beberapa kali mencoba menelepon, tetapi tidak diangkat.

"Danil, kamu kenapa?" tanya seorang gadis yang duduk di hadapan Danil. Merasa bahwa Danil tidak dalam keadaan nyaman. "Nggak enak satenya?"

Danil menggeleng. "Enak, Nar. Enak banget. Masih kayak dulu waktu kita sering ke sini," jawab Danil. Dia tidak ingin mengecewakan Naraya mengenai dirinya yang kurang menikmati sate itu.

"Terus kenapa makannya cepat tapi kayak nggak selera gitu?"

"Nggap pa-pa." Danil menarik gelas es tehnya mendekat, kemudian menyeruputnya. Cowok itu berdiri. "Nar, aku ke motor sebentar, ya." Tanpa sempat Naraya menjawab, Danil sudah melenggang lebih dulu. Dia sempat menarik ponselnya yang ada di atas meja.

Belum sampai di motor, cowok itu menghubungi Radea lagi. Telepon tersambung, tetapi tidak ada yang menjawab. Danil sudah duduk di jok motornya dengan ponsel ditempelkan dengan telinga. Ini menjadi panggilan kedua Danil untuk gadis itu.

"Halo." Panggilan dijawab. Suara perempuan di seberang telepon itu dingin. Datar. Danil mampu merasakannya.

"Ra, lo di mana?"

"Kenapa?" jawabnya dengan nada suara yang sama.

"Gue tanya serius, lo di mana?"

Tut tut.

Panggilan terputus.

Danil menggeram. Tangannya mencengkeram kuat ponsel. Pesan-pesannya tidak dibalas, sepertinya Radea sengaja melakukan itu.

Mendengar suara Radea, setidaknya hal itu membuat Danil sedikit lega. Gadis itu pasti baik-baik saja. Dia sama sekali tidak terdengar ketakutan. Mungkin Radea sudah di rumah. Danil menarik napas panjang, besok dia harus menjelaskan semuanya pada Radea. Dia harus minta maaf.

Langkah Danil kembali bergerak menghampiri Naraya yang sudah menghabiskan satu porsi satenya.

"Sudah, Nar?" Danil duduk di tempatnya semula.

Naraya mengangguk sembari menyeruput es tehnya. "Iya, sudah," jawabnya setelah selesai meneguk minumnya. "Jalan-jalan—"

"Ayo, aku antar pulang. Aku nggak boleh pulang di atas jam dua belas," potong Danil. Cowok itu bangkit dari duduknya.

Naraya mengecek jam tangannya. Pukul setengah sembilan malam. Gadis itu cemberut. Setahunya Danil bukanlah orang yang terganggu dengan waktu jika tidak ada urusan.

"Sejak kapan nggak jalan di atas jam dua belas?" tanya Naraya. Dia berdiri dan mengikuti langkah Danil setelah cowok itu membayar makanan mereka berdua.

"Sejak pindah sekolah. Itu peraturan kos aku, Nar."

"Kalau pulang jam dua belas ke atas kenapa?" tanya gadis itu lagi. Dia merasa waktu kebersamaan mereka masih kurang. Naraya masih ingin berjalan-jalan dengan Danil.

"Sudah pernah. Dan sejak itu aku tau kalau peraturan dibuat memang untuk kebaikan."

"Ketahuan yang punya kos?"

Introvert VS Ekstrovert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang