21 || Peluk

385 49 0
                                    

Hening membentang sepanjang bel masuk berbunyi hingga sekarang. Setengah jam sudah berlalu, tetapi guru Kesenian tidak juga datang. Tumben saat pelajaran kosong, kelas dalam keadaan sepi. Masing-masing murid sibuk dengan ponsel masing-masing, ada juga yang belajar, dan ada pula yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Seperti Radea contohnya.

Gadis itu sejak tadi hanya diam menatap buku catatan Kesenian yang masih putih polos tanpa ada tulisan. Keadaan jadi sangat canggung karena cowok di sampingnya tidak bicara apa-apa.

Sejak Danil datang tadi, ia sama sekali tidak ada mengajak Radea bicara. Padahal biasanya Radea yang berharap cowok itu bisa diam, atau kalau bisa ia ingin melakban mulut Danil agar tidak berisik. Namun, berbeda dengan kali ini. Diamnya Danil membuat Radea bertanya-tanya tentang banyak hal.

"Danil, kantin aja yuk. Jam kosong juga kayaknya, nih," ajak Yosep. Cowok itu berbicara dari bangkunya.

"Lo aja, deh. Gue sama Radea mau ke taman belakang," jawab Danil.

Mendengar itu, sontak saja membuat Radea terkejut. Kepalanya otomatis berputar sembilan puluh derajat ke arah Danil. Cowok itu sejak tadi hanya diam, dan tiba-tiba saja ia bilang hendak ke taman bersama dirinya, aneh.

"Ngapain?"

"Ngomongin pelajaran." Danil berdiri, ia menarik tangan Radea tanpa meminta izin. "Ayo, Ra," ucapnya datar.

Yosep dan seisi kelas  memandang kepergian Danil dan Radea. Tangan Danil yang menggenggam tangan gadis itu menjadi fokus utamanya. Mereka saling pandang terkejut, jangankan kontak fisik seperti yang Danil lakukan, berbicara dengan Radea saja mereka sebulan sekali belum tentu. Akan tetapi, Danil yang notabenenya adalah anak baru sudah bisa menggandeng tangan Radea. Tentu saja hal itu menghebohkan mereka sekelas.

***

Radea duduk di samping Danil. Mereka duduk di atas rumput dan di bawah pohon, sengaja tidak duduk di kursi karena di sini lebih mendung.

Radea menekuk lututnya untuk dipeluk, ia menunduk, sampai-sampai Danil tidak bisa melihat wajahnya karena terhalang rambut.

"Ra, sori kemarin gue nggak ngantar lo. Lo pulang sama siapa?"

"Naik bus," jawab Radea cepat. Jujur, ia kesal dengan Danil yang kemarin entah ada di mana. Ia bingung harus apa, tetapi untungnya ada Galang yang datang membantunya.

"Syukur, deh. Lo duduk dekat sama siapa?"

"Kak Galang."

Kedua alis Danil berkerut dalam. Ia menatap Radea yang masih dengan posisinya semula. "Ra, lo boleh berteman sama anak kelas kita, tapi nggak sama Galang. Dia itu nggak baik, Ra, buat lo!" Danil berucap tegas. "Gue udah tau anak sekelas nggak akan macam-macam kalau lo membuka diri, tapi Galang, dia bahaya."

"Justru anak kelas yang bahaya, Nil, bukan Kak Galang." Tatapan Radea jelas menancap netra Danil. Emosinya tersulut mendengar kalimat nasihat cowok itu. "Anak kelas yang selalu ngeliat aku nggak suka. Mereka yang ngomong sinis ke aku. Mereka yang ngolokin aku ini itu. Tapi sekarang kamu bilang mereka nggak macam-macam?"

Rekor! Gadis itu berbicara panjang lebar berhasil membuat Danil tahu seberapa besar kekesalannya.

"Bukan gitu, Ra. Ini gue berusaha kasih tau lo mana yang baik dan yang buruk. Nggak semua yang lo liat baik bener-bener baik." Danil melembutkan nada bicaranya.

Pipi bulat di wajah kecil itu kini bisa Danil lihat dengan jelas. Tidak bisa berbohong, pesona Radea memang bahaya kalau semua orang bisa lihat.

"Jadi maksud kamu Kak Galang yang udah bantu aku itu jahat? Yang mengucilkan aku di kelas kamu bilang lebih baik, Nil?"

Introvert VS Ekstrovert ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang