9. Hukuman

16K 1.5K 18
                                    

Sungguh Tasya harus mengutuk perutnya ini. Sudah malam tapi cacing di perutnya kembali meronta untuk di isi.

Tasya sudah membangunkan Rani dengan menepuk badan Rani, tapi tetap saja gadis itu tidak bangun. "Ran! Anter yuk!"

"Mau ketemu anak monyet minta makan." Ajak Tasya.

Rani hanya mengeliat. "Hm... kamu aja sendiri, saya ngantuk." Ucap Rani.

Tasya berdecak kesal, padahal waktu pagi Rani minta di ajak. Tapi sekarang gadis itu malah tidur enggak mau diganggu. Mau tidak mau dia keluar sendiri, untung pengalaman dari embrio udah sendiri. Pernah berdua sama bayangan tapi diselingkuhin, jadi kalo gelap sendiri lagi, untung sabar.

Tasya keluar asrama berjalan ke arah tembok pembatas, bahkan laki-laki itu terlihat dengan santai menghisap sebatang rokok. Sedangkan satu tangan laki-laki itu memegang roti, kebetulan sekali dong. Sinar kebahagiaan langsung terpancar di mata Tasya, memang sedikit alay. Tapi Tasya sudah berhasil menemukan sumber pangannya.

"Ka Putraaa... rotinya boleh dong buat gue." Tanya Tasya lebih tepatnya meminta, tapi tidak terlalu keras. Bukan bertanya sih, lebih tepatnya meminta.

"Agtagfirullah anak tuyul." Putra langsung mematikan rokoknya.

"Minta rotinya Put!" Seru Tasya. Putra melempar roti ditangannya tepat di wajah Tasya.

"Jih yang sopan dong! Kalo gue--" ucapan Tasya terhenti.

"KALIAN LAGI NGAPAIN?!" rupanya hari tanpa hukuman Tasya akan segera usai.

Mata Tasya membulat. Ada seseorang yang melihatnya.

***

'Ekhm' Deham Putra berhasil memecah keheningan.

Di ruang ber-AC dan duduk di sofa empuk yang sangat nyaman ini Tasya duduk berjauhan dengan Putra. Yakali berdekatan, cari mati sih kalo Tasya dempet-dempetan dengan Putra, jauhan saja sudah di panggil gini. Tasya sempat berdecak kagum dengan ruang BK seperti ini, lebih bagus dari sekolahnya lah.

“Ini semua salah gue, sorry gara-gara gue lo jadi kena masalah terus.” Kata Putra pelan, pandangannya redup. Laki-laki terus menunduk dari tadi.

Kalau saja teman-teman SMA Tasya tahu bahwa orang yang sangat mereka kagumi meminta maaf pada Tasya pasti mereka sangat heboh. Andai saja handphone ada di genggaman Tasya, dia pasti langsung live IG.

Tasya tersenyum. “Enggak apa-apa kali santuy. Harusnya di sini tuh gue yang minta maaf, nama lo kan jadi tercoreng di pesantren ini, Gara-gara cacing di perut gue yang enggak bisa diajak kompromi.”

“Tumben-tumbenan lo senyum ke gue.” Putra terkekeh pelan.

“Ekhmmm” seseorang datang dengan batuk yang dibuat-buat. Di belakangnya ada wanita dengan kerudung panjangnya. Tasya tidak tahu siapa, mungkin guru itu seperti guru BK di SMA nya dulu, karena auranya sama-sama menyeramkan. Jangan-jangan jodohnya pak Mamat, tapi pak Mamat kan duda, kasian kan.

Kalau saja Tasya tidak bisa menahan amarahnya, mungkin saja nenek lampir itu sudah habis di tangan Tasya. Andai saja dia tidak teringat ucapan Mamanya, mungkin saja dia tidak akan memberi ampun pada kakak kelasnya itu. Untung saja Tasya masih ingat bahwa wanita itu kakak kelasnya. Dan untung saja bu Aisah dan pak Abdul sedang di pesantren cabang yang lain.

“Kalian tahu apa yang telah kalian perbuat?” Ucap wanita itu. Putra tetap terlihat menunduk, padahal sewaktu di SMA laki-laki itu selalu berontak.

“Tapi bu---“ baru saja Tasya ingin membela diri, ucapannya sudah terpotong.

“Kamu enggak usah membela diri sendiri, kamu memang salah kan? Tau gak pacaran itu dosa? Oh iya kamu anak baru kan ya? Bisanya Cuma bikin masalah waktu di SMA!”

"Gini loh bu, saya bisa jelasin. Pelan-pelan ya saya jelasinnya... saya enggak pacaran apalagi melakukan perbuatan seperti yang kak itu katakan. Ibu bisa cek deh. Saya masih ting-ting, dijamin masih ting-ting."

"Mana ada, cowok sama cewek berduaan. Apalagi di tempat gelap yang jarang dikunjungin."

Tasya benar-benar sangat geram dengan nenek lampir itu. Tangannya terkepal kuat. Mana mungkin dia bisa diam saat difitnah seperti ini.

“Heh nenek lampir diem deh lo!” Ucap Tasya sembari melirik tajam Anisa.

“Emangnya kamu siapa? Berani-beraninya bentak saya! Pacaran iya, gak sopan juga iya.”

“Stop sudah-sudah, Tasya ikut saya.” Wanita itu memberi kertas, Tasya membacanya kemudian mengganggukan kepalanya.

“Iya bu saya pamit, Assalamu'alaikum.” Ucap Tasya, lalu tersenyum ke arah Putra hanya memperhatikan. Tasya memeletkan lidah ke Anisa sambil mengacungkan jari tengahnya.

"Tapi hukuman mengumpukan seribu rumput di taman belakang masih berlaku ya bu untuk anak yang terkena kasus seperti ini?" Tanya Anisa diangguki ustazah.

'Syaiton' Tasya merasa panas sekarang. Bahkan Tasya saja belum pernah mengumpulkan seribu rumput.

Kini giliran Anisa tersenyum manis, semanis racun ke arah Tasya. Seolah-olah gadis itu mengatakan 'satu point'. Huh sabar Tasya orang sabar jodohnya kembar.



Love You Akang Santri [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang