17. Apakah Bersedia?

15.3K 1.4K 49
                                    

Tasya menepuk bahu Evan untuk menenangkan. Mungkin ini lah akibatnya jika berharap pada manusia, kita tidak tahu kapan akan tersakiti, yang jelas kita hanya boleh berharap pada Allah.

Sepulang dari Bogor Evan menjadi orang yang murung, benar-benar sad boy sekali Evan. Bahkan sepertinya beberapa hari setelah pulang dari Bogor Evan juga jarang tidur, terbukti dengan matanya yang menghitam.

"Udah bang. Mangkanya kemaren-kemaren jangan mau berubah karena manusia. Ditinggal nikah kan sama Dinda jadinya. Emang sih dibandingin sama lo, dia jelas lebih unggul, anak pemilik pesantren yang pasti bakalan diwarisin ke dia sih, pemilik sekolah juga, dia juga hafidz, ngajinya bagus. Kerja yang giat mangkanya bang!"

Evan melirik Tasya. "Dek, lo tuh mau ngehibur abang atau mau banding-bandingin abang sih?"

Tasya berdecak pelan di balik cadarnya. "Ini namanya motivasi hidup bang, kita tuh harus melihat yang lebih atas biar bisa memotivasi diri."

"Tapi jangan bandingin sama suaminya orang yang pernah abang suka juga dek!"

"Yaudah yuk keluar kamar, Acha sama Reno mau jalan-jalan, ayo bang kita cari angin. Harus ikut pokoknya Acha tunggu di bawah."

"Angin kok dicari, dia kira di kamar gue gak ada angin apa? Terus fungsinya kipas angin buat ape? Mencari jodoh?" Ucap Evan setelah Tasya keluar kamarnya.

Evan menghela napas panjang. "Ayo hati kita mulai semuanya, jangan fikirin yang bikin lo sakit, sekarang saatnya lo bahagia. Gue kan ganteng, masa sih dari seluruh cewek di bumi gak ada yang suka sama gue?"

***

Tasya berjalan menuju ruang tamu. Seorang anak kecil langsung berlari menuju Tasya.

"Gimana ma? Om ipin mau ikut kita?"

Tasya mengangguk, mengangkat tubuh bocah empat tahun itu ke gendongannya. "Mau kok. Bentar Om Evannya lagi siap-siap."

"Woy!! Boy!! Bilang apa tadi?! Om ipin?" Tanya Evan yang baru keluar dari kamarnya.

"Kayanya Reno salah ngomong ya om? Reno minta maaf ya."

"Oke om maafin."

"Iya soalnya Reno salah, harusnya bukan om ipin, tapi om panda."

Evan mengelus dadanya. Sebegitu hinanya kah mata panda Evan? Sampai-sampai ia ternista kan oleh bocah seperti Reno.

"Sabar-sabar, orang sabar jodohnya kembar." Ucap Evan.

"Reno juga mau sabar mah, kaya om ipin biar jodohnya kembar."

Tasya menatap tajam abangnya. Berbicara di depan anak kecil sangat rentan, karna anak seusia mereka lebih mudah meniru orang-orang di sekitarnya.

"Wah... Tasya sudah pantas ya ma, kapan nih papa mau dikasih cucu?" Papa yang tadinya anteng menonton sinetron 'dihempas gelombang dilemparkan angin' tiba-tiba bersuara.

'Uhuk-uhuk' Tasya dan Evan langsung terbatuk. Wajah Tasya dan Evan langsung memerah.

"Bang, kayaknya Kak Ridwan udah nunggu di luar. Papa, mama, Tasya izin keluar ya, Assalamu'alaikum."

"Ekhem, iya nih. Langsung keluar aja Cha! Evan berngkat dulu ya, Assalamu'alaikum."

Mama dan Papa saling berpandangan. "Mereka kenapa Pa?" Tanya Dina.

Adi menggeleng. "Aneh banget, padahal cuma minta cucu." Dina mengangguk menyetujui.

***

Tasya menghembuskan napasnya. "Itu papa sama mama kenapa sih bang?"

"Gak tau, harusnya kan cari pasangan dulu. Bukan langsung minta cucu." Balas Evan.

"Ayah!" Teriak Reno di gendongan Tasya.

Tasya membelalakan matanya. "Reno kata kamu kita mau jalan-jalan?" Tanya Tasya.

Reno menggeleng. "Reno gak bilang gitu, Reno bilang 'Reno mau jalan-jalan sama ayah' gitu Mama."

Tasya menatap Evan meminta bantuan. Banyak orang-orang di depan rumah Tasya memakai batik, dan yang paling mengejutkan mengapa mereka membawa barang seperti akan lamaran.

Mata Tasya melihat Risma penuh pertanyaan.

"Kakak gue mau ngelamar lo Tasya! Masa lo gak peka sih? Reno juga kan pake baju batik!"

"Ada apa ini?" Tanya Papanya yang ikut keluar.
















Love You Akang Santri [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang