Rani menatap prihatin Tasya yang sedang menghitung potongan rumput itu. Bahkan dari pagi sampai sore Tasya belum selesai menghitung potongan rumput. Rasanya Rani ingin tertawa terbahak-bahak, tapi Rani juga masih punya hati untuk tidak tertawa di atas penderitaan orang lain.
"Tasya! Semangat ya! Saya mau masuk kelas lagi." Teriak Rani.
Tasya mengangguk sembari mengacungkan jempolnya. Jam makan siang Rani tadi mampir dulu memberi Tasya makanan, walau baru beberapa hari gadis teman satu kamar sudah hafal bahwa Tasya anaknya laperan.
Tasya Amelia, gadis itu memakai kalung bertuliskan 'saya bersalah dan saya tidak akan mengulanginya lagi'. Belum cukup kalung hukuman itu, Tasya juga memakai gamis sakral yang katanya hanya dipakai bagi pelanggar peraturan. Gamis berwarna kuning terang dan hijau stabilo siapapun yang melihat Tasya pasti akan merasa sakit mata. Membuat orang yang melihatnya tertawa sambil bisik-bisik membicarakan Tasya.
"Terus aja omongin gue. Berasa suci banget mereka." Gumam Tasya.
"Tadi gue ngitung sampe berapa ya? Kok gue lupa sih, Tasya pinter! Oke mulai ngitung lagi, jangan bilang bodoh, Tasya pinter. Omongan adalah doa, semangat!!" Ucap Tasya pada dirinya sendiri.
Matahari tepat di atas kepala, sesudah sholat zuhur tadi Tasya langsung kembali ke tempat hukuman ini. Untung saja Rani membawakan Tasya makan siang. Jangan Tanya Dinda, gadis itu selalu hilang-hilangan terus seperti jarum pentul.
"Belum selesai kah ngehitungnya?"
"Belom, ini dari tadi mentok di lima puluh." Jawab Tasya.
'Deg' gadis itu tersadar dan langsung mendongakkan kepalanya melihat sang penanya. Mata Tasya berkedip beberapa kali.
"Ya Allah... gantengnya." Ucap Tasya tanpa sadar.
Pria di hadapan Tasya terkekeh. "Bisa saja kamu. Saya ustadz di sini. Saya juga sudah punya istri."
"Siapa juga yang mau jadi istri kedua. Orang saya mengagumi ciptaan Tuhan yang di belakang bapak!" Jelas Tasya menjelaskan sejelas-jelasnya.
Wajah pria itu langsung memerah saat menoleh kebelakang, entah menahan marah atau malu, yang jelas ustadz itu langsung pergi meninggalkan Tasya. Memang di belakang ustadz itu ada orang ganteng, mata Tasya masih sehat dan masih bisa membedakan mana yang ganteng dan mana yang-- ah sudah lah takut dosa juga bilang gurunya enggak good looking.
Tatapan Tasya bertemu dengan laki-laki itu, tapi laki-laki itu langsung membuang muka, seolah-olah tidak melihat Tasya. Gadis itu langsung mencebikkan bibirnya, percuma dong Tasya ngeliatin laki-laki bergamis putih itu. Harusnya kalau Tasya melihat laki-laki itu, laki-laki itu pun harus melihat Tasya bali. Supaya bagus seperti di sinetron satu untuk semua.
Tasya menghembuskan nafasnya, bukan nafas yang terakhir. Gadis itu langsung melanjutkan menghitung rumput, bisa-bisa hukuman Tasya tidak selesai-selesai sampai malam.
"Ini udah nyampe seratus?" Tanya laki-laki yang tadi Tasya tatap.
Tasya kaget sekali, tiba-tiba saja laki-laki itu sudah berada di samping Tasya yang duduk di kursi taman. Tasya langsung menjauh, seribu rumput saja belum selesai, bagaimana jika ditambah seribu lagi. Jadi dua ribu dong.
"Rumput ini udah seratus?" Tanya laki-laki itu lagi, Tasya mengangguk.
"Nah, harusnya kalo udah seratus gini kamu pisahin. Sampe sepuluh tempat, masukin sini ya. Semangat ya!" Ucapnya memberikan Tasya gelas plastik.
Tasya kaget, jantungnya hampir copot. "Itu sih ganteng banget. Gue tarik deh kata-kata gue yang bilang ga tertarik sama anak pesantren."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love You Akang Santri [Selesai]
Spiritual"WHAT!!! AKU!? DI MASUKIN KE PESANTREN? YANG BENER AJA SIH MA!" Teriak Tasya yang seketika membuat kuping berdengung. "Iya, kenapa sih emang? Lebay banget!" Jawab Mama. "Lagian Tasya! kamu itu cewek loh, kerjaannya masuk BK mulu, Kakak kamu aja yang...