11. Abang Bijak

15.3K 1.5K 19
                                    

Hukuman memotong rumput memang sudah berhasil Tasya selesaikan. Tapi kertas kosong yang diberikan kepada Tasya bahkan belum terisi satu pun. Padahal sudah dua minggu semenjak tugas itu diberi.

Rasanya Tasya benar-benar ingin pulang ke rumahnya. Tasya rindu mamanya yang bawel dan papanya yang selera humornya rendah. Tasya sempat sakit selama seminggu setelah melaksanakan hukumannya, tapi keluarganya tidak ada yang menjenguknya sama sekali, mereka malah berfikir Tasya hanya caper alias cari perhatian dan itu sakit banget. Tasya tobat sekarang, kenapa waktu SMA dia sering pura-pura sakit untuk membolos.

Tasya duduk termenung di kursi taman sendiran. Gadis itu menatap kertas hukuman itu dengan nanar. Bahkan untuk menghafal juz 30 saja Tasya membutuhkan waktu tiga tahun. Dari kelas tujuh sampai kelas sembilan. Lalu sekarang Tasya hanya diberi waktu satu tahun untuk menghafal 30 juz.

"Coba aja waktu itu cacing di perut gue bisa di ajak kerja sama "

"Huaaaaa... gimana cara ngapalnyaa..."

"Kasian otak gue..."

"Sabar ya tak, ini ngapal Al-Qur'an loh ga boleh ngeluh lo tak!"

"Nanti Allah ambil kamu dari aku tak! Harus bisa ya tak!"

Di depan kursi taman ini mengarah pada danau kecil. Angin berhembus menerpa kulit membuat Tasya menggosokan telapak tangannya untuk memberi sedikit kehangatan, biasa jomblo dari lahir enggak pernah menerima kehangatan. Tubuh Tasya memang sedikit manja terhadap udara malam. Jam delapan masih ada waktu untuk para santri menghafal, masih banyak juga yang berkeliaran.

"Saya bisa bantu. Itu pun kalo kamu mau." Ucap seseorang membuat Tasya tersadar dari lamunannya.

Seseorang itu menyampirkan jaket di bahu Tasya. "Ehm. Mungkin saya bantunya lain kali ya? Di sini sepi, nanti kamu kena hukuman lagi."

"Makasih Ustadz Rizky." Jawab Tasya.

Pria itu mengangguk. "Jangan terlalu lama di sini sendirian ya, katanya di sini angker." Peringat Ustadz Rizky.

"Kamu boleh capek, itu sifat alaminya manusia ko. Tapi jangan nyerah, kalo nyerah sama aja kamu kayak pengecut. Masa kabur dari pesantren aja berani, giliran nerima hukuman gak bisa. Saya pamit dulu ya, ada urusan. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap Ustadz Rizky kemudian meninggalkan Tasya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Jleb sih tapi emang bener, ya tapi gimana dong." Ucap Tasya lirih.

Setelah mengetahui Ustadz Rizky selama beberapa hari ini ternyata tidak seperti yang di bayangkan. Putra kyai, alias putra dari pemilik pesantren ini alias kakaknya Dinda itu sangat baik, udah ganteng, baik hati lagi.

Tasya mengeratkan jaketnya. "Ngedenger kata kabur dari Ustadz gue jadi pengen kabur. Gapapa kali ya? Gue kangen banget sama mama papa. Boleh deh."

***

Pukul sebelas malam Tasya akhirnya sampai di depan rumahnya. Perjalanan dari Bogor ke Jakarta Tasya hanya menumpang pada mobil warga yang akan pindah rumah ke Jakarta, lagi pula jika ia naik angkutan umum atau kereta bisa saja tapi kan numpang lebih hemat. Air mata Tasya sudah tidak bisa terbendung. Tasya rindu sekali, ternyata serindu ini ya meninggalkan rumah.

Jari Tasya beberapa kali menekan bel. Seorang laki-laki membuka pintu keluar dengan wajah mengantuknya.

Tasya memeluk laki-laki itu. "Bang Epan... Acha kangen banget."

"Masuk." Nada dingin masuk ke indra pendengar Tasya.

"Duduk!" Sesampai diruang tamu lagi-lagi hanya nada dingin yang keluar dari mulut abangnya.

Tasya menunduk. Tasya tau pasti Evan sekarang sedang marah. Buktinya nada laki-laki itu berubah menjadi dingin.

"Mama sama papa lagi enggak ada di rumah. Lo ngapain balik kesini?"

"Abang gak seneng Acha pulang?"

"Gue lagi nanya! Jangan nanya balik!" Tegas Evan.

"Acha kangen sama kalian... kemarin Acha sakit gak ada yang dateng jengukin Acha." Air mata yang Tasya tahan akhirnya keluar juga.

'Greb'

Evan memeluk adik satu-satunya itu. Evan tau perasaan ini, apalagi ia sempat menjadi anak kost juga selama SMA.

"Udah jangan nangis! Lo kan tau lo kalo nangis jelek!"

Tasya mencubit perut Evan. "Abang!"

"Nih dengerin abang dek! Pas lo sakit itu sebenernya Mama juga sakit, Mama bahkan maksa papa buat nganterin Mama ke pesantren lo. Tapi papa pengen anak gadis satu-satunya ini mandiri. Lo tau kenapa? Karena kita gak mungkin sama-sama terus dan ngejagain lo. Ada waktunya dan entah kapan kita harus pisah. Bukan papa enggak sayang, papa pengen lo fokus belajar agama di pesantren. Kan penjengukan juga ada 2 bulan sekali"

"Tapi kan seenggaknya mama papa dateng waktu Tasya bikin masalah. Waktu orang tua di panggil pihak pesantren gak pernah ada yang dateng kan?" Bela Tasya.

Evan menyentil dahi adiknya. "Lo tau kenapa mama sakit? Mama kepikiran lo di pesantren. Mangkanya jangan bikin ulah mulu, mama sakit karna denger berita buruk yang lo perbuat! Dan buat ngunjungi lo itu gak semudah yang lo kira, gak bisa asal ngunjungin sembarangan. "

"Yaudah lo tidur aja sekarang! Lo pasti capek. Besok gue anter ke pesantren lagi."

Saat Tasya akan membuka mulutnya suara Evan lebih dulu menginterupsi. "Gak ada penolakan buruan tidur!"

Love You Akang Santri [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang