Tidak Diakui

1.5K 91 1
                                    


Malam kian sunyi ketika Tsabiya masih tidak bisa tidur dalam selimutnya. Sementara Mikael yang baru menyelesaikan pekerjaannya di rumah segera naik ke tempat tidur untuk istirahat.

"Mikael?"

"Hm."

"Aku minta izin kerja lagi, ya?"

"No." Mikael menjawab dingin. Tsabiya jadi bertanya-tanya apakah itu tadi penolakan? Kenapa tak ada intonasi sama sekali setiap kali Mikael bicara?

"Aku ikut kamu ke Jakarta ini aku resign, uang simpananku hampir habis. Aku harus membayar hutang pada temanku yang telah meminjamkan biaya utuk operasi Ayah."
Jujur Tsabiya. Semoga dengan alasan itu Mikael memberinya izin. Namun Mikael sama sekali tak menatapnya.

"Berapa banyak hutang itu?"

"Sisa 50 juta total dari 4 teman yang mau meminjamkan uangnya."

"Besok pagi jelaskan pada Agil, dia akan membayarnya." Tsabiya menoleh panik.

"Eh nggak, ini hutang aku. Kamu nggak punya kewajiban membayarnya. Aku cuma mau kerja biar dapat gaji lagi untuk bayar semuanya. Kalau hutangnya lunas, kamu minta aku untuk berhenti kerja, aku pasti akan berhenti." Tsabiya menyentuh lengan Mikael. Berharap laki-laki itu mengabulkan apa yang ia inginkan. Tsabiya tak begitu berani meminta tapi bagaimana mungkin ia biarkan hutangnya tak terbayar. Nanti ia bisa dosa.

"Agil yang akan urus semuanya besok." Mikael meletakkan guling di tengah keduanya membuat tangan Tsabiya yang tadi menyentuh Mikael jadi tertindih. Tsabiya menghela napas pelan dan menarik tangannya. Tsabiya sadar, ia masih belum bisa berbicara dengan suaminya. Suaminya terlalu dingin, terlalu jauh darinya bahkan saat Tsabiya pelan-pelan belajar menerima Mikael di hidupnya sebagai seorang suami yang tidak tahu atas alasan apa dirinya dinikahi.

***

"Bang, temenin Mikaila beli baju yuk?"

"Abang sibuk."

"Bang, sekalian beliin Kak Tsabiya juga. Bajunya nggak banyak yang dibawa." Mikaila merengek memeluk Mikael yang membaca korannya di sore hari libur. Mikael duduk santai di sofa sebelum Mikaila merecokinya. Tapi tetap saja Mikael bergeming seperti patung. Mikaila berulang kali mendengus karena kesal.

"Pergi berdua saja," sahut Mikael lagi.

"Bertiga Bang, Abang ikut juga! Ya? Ya? Nanti Il marah nggak mau lagi ngomong sama Abang!"
Ambekan itu tak ada respon dari sang sasaran. Lama-lama Mikaila ingin memukul abangnya ini.

"Ada telpon." Sebuah ponsel terjulur ke depan wajah Mikael. Siapa lagi kalau bukan Tsabiya yang repot-repot mengantarkan ponsel itu dari kamar mereka.

Mikael mengambil ponselnya dan menelpon ulang rekan kerjanya. Mikaila bangun mendekati Tsabiya.

"Kak, kita belanja yuk."

"Hah? Kakak mana punya uang, Il."

"Ishhh, Kak Tsabiya kan udah jadi istrinya Bang El, jadi Bang El dong yang biayain. Mau ya?"

"Tapi mau belanja apa? Kak Tsabiya belum butuh sesuatu."

"Ada, beli baju baru."

"Baju Kak Tsa-----"

"Bang El, Kak Tsabiya mau ikut nih! Bang El bayarin, ya? Punya Il juga. Okay?" Demi tubuh kecil Mikaila yang lincahnya luar biasa, entah kapan anak itu sudah berada di samping Mikael sedangkan tadi berada di samping Tsabiya. Lengan Mikael dipeluk erat sang adik perempuan satu-satunya itu. Mikaila persis anak kecil.

Tsabiya hanya diam tak mengerti, sesekali Mikaila mengedipkan matanya ke arah Tsabiya sementara Mikael yang terganggu bicaranya di telpon memutuskan sambungan segera dengan janji akan menelpon nanti.

TsabiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang