Bab 14

7.4K 291 0
                                    

Sekretaris ku yang manis, menemaniku tinjau ke peternakan ulat bulu dan kini kami sedang menikmati ikan dan ayam panggang di halaman Villa milikku. Qwen sudah lebih ceria dibandingkan waktu baru tiba. Sepertinya dia kaget karena menginap di Villa dan bukan di hotel. Wajar saja, bermalam berdua di Villa bersama pria yang baru di kenal dan juga bossnya sendiri. Tetapi sekarang dia sudah mulai membuka dirinya, berbicara denganku dengan nada ceria dan sedikit manja seperti gaya bicaranya pada Teddy. Aku semakin jatuh cinta padanya, wajahnya yang manis dan badannya yang mungil membuatku ingin melindunginya dari apapun juga. Walaupun aku tahu dia adalah gadis yang pemberani dan kuat.

Saat kami sudah selesai makan, jam sudah berdentang sepuluh kali. Waktu rasanya cepat berlalu, tidak seperti bulan-bulan yang lalu aku sendirian, berlama-lama di peternakan dan terus tidur sesampai di Villa. Selesai membersihkan sisa panggangan, jam sudah menunjuk pukul sepuluh lewat tiga puluh menit, Qwen sudah beberapa kali menguap. Dia pasti sudah capek sekali, aku menyuruhnya pergi tidur tetapi dia seperti berlagak tidak mengantuk dan menolak perintah ku.

"Aku belum ingin tidur. Aku masih ingin melihat-lihat ke loteng." Jawabnya sambil menunjuk ke atas.

"Ayo kubawa kamu ke loteng." Ajakku.

Dengan semangat Qwen mengikutiku dari belakang. Sesampai di loteng, Qwen menjerit kecil kemudian lari menuju ke Bar kecil yang kuletakkan di sudut ruangan.

"Lengkap sekali peralatannya." Kata Qwen seraya mengambil shaker dan bertingkah seperti seorang Bartender. Aku duduk di depannya sambil tertawa melihat dia berusaha mengambil shaker yang di layangkan ke atas.

Setelah puas bermain menjadi bartender, Qwen naik ke panggung kecil di samping bar dan mengamati stereo set ku yang mewah. Untuk kesekian kalinya Qwen berdecak kagum.

Aku memutarkan lagu klasik untuknya.

"Jernih sekali suaranya. Harganya pasti mahal." Katanya

"Iya, begitulah." Jawab ku bangga.

Sambil menikmati irama musik klasik yang slow, Qwen berjalan melewati meja billyard yang berada di tengah ruangan menuju ke sebuah pintu menuju beranda. Aku mengikutinya dari belakang, sesaat pintu beranda di buka, angin malam menerpa masuk, tercium wanginya rambut Qwen dari balik punggungnya. "Bolehkah gadis ini menjadi milikku?" Tanyaku dalam hati. Qwen bersandar di beranda, dia memandang sekeliling sambil memuji pemandangan yang dilihatnya. Badanku seperti tersedot olehnya, aku tidak bisa lagi menahan diriku untuk tidak memeluknya. Terasa di dadaku tubuh Qwen terhentak karena kaget, aku mencium rambutnya dan semakin membuatku hanyut.

"Boss." Katanya dengan suara parau.

"Biarlah seperti ini sebentar lagi." Bisik ku di telinganya.

"Tidak boleh seperti ini." Suaranya semakin parau, seperti hendak menangis. Aku melepas pelukan dan membalikkan tubuhnya menghadap ku.

"Kamu cantik." Puji ku seraya menyingkirkan rambut yang ada di pipinya dengan lembut. Qwen menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Aku ingin tidur." Kata Qwen sambil berusaha menyingkirkan tubuhku kesamping. Aku kembali memeluknya dengan sedikit agak kasar. Tidak sulit menahan badannya yang mungil, Qwen tidak punya pertahanan apa-apa. Batinku hanya memikirkan ingin dia menjadi milikku, seutuhnya. Diriku yang seperti baru menelan pil setan, bahkan tidak menghiraukan kalau dia sudah menangis dan memberontak. Aku menggendongnya masuk dan mendudukkan dia di meja billyard. Seolah tidak peduli akan teriakannya, aku menciumi wajah, Leher, telinganya. Sebelah tanganku mencari-cari kancing kemejanya dan berusaha melepas dari lubang kancing. Qwen masih berusaha mempertahankan kancing kemejanya yang sudah ku lepas satu persatu. Bisa kurasakan badannya mulai melemah, gerakannya sudah tidak terlalu gesit, dia sudah capek memberontak. Baru saja aku merasa menang, badanku tiba-tiba terhempas ke belakang. Qwen menendang ku dengan sisa-sisa tenaganya. Sekejap dia melarikan diri menuruni tangga dan pintu kamarnya dibanting. Aku terduduk di lantai, otakku terus berputar berulang-ulang memikirkan kejadian barusan yang kulakukan pada Qwen. Rasa penyesalan mulai merasuk di jantung, aku memukul kepalaku. Apakah sebaiknya aku meminta maaf padanya atau membiarkan dia untuk tenang. Belum sempat memutuskan apa yang harus kulakukan, iphone ku berdering. Nama Teddy muncul di layar.

Pilihan kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang