Peter sungguh membuat ku kesal. Padahal sudah kuingat kan agar lebih kejam terhadapnya. Tetapi sekarang Ia malah senang karena akhirnya punya sekretaris yang tidak cengeng. Tapi akhirnya Peter dan aku memutuskan untuk memberitahunya tentang hubungan pertemanan kami. Ini ide Peter, menurutnya akan lebih mudah jika tidak ada rahasia antara kita bertiga.
Lubang kunci diputar, mereka datang. Aku mematikan televisi yang dari tadi menyala tapi tidak benar-benar kutonton. Baru hendak menyambut kedatangan sahabatku itu, mendadak Qwen menghampiri ku dan langsung memelukku. Tubuh mungilnya mendarat mulus di tubuhku, kepalanya tepat berada di dada ku.
"Hey. Kamu kenapa? Ada boss mu disini." teriak ku berharap dia melepaskan pelukan.
"Tidak apa-apa. Kalian kan berteman." jawabnya santai masi tetap lengket di tubuhku.
Peter masuk dan seperti tidak melihat apa-apa, duduk dan membuka televisi.
"Sudah, kamu pasti lelah. Pergilah mandi dan tidur." usir ku halus
"Baiklah." jawabnya sedikit kecewa tapi tetap tersenyum. Wajahnya benar-benar menunjukkan dia lelah. Setelah melihat dia naik ke loteng, aku bergabung dengan Peter, duduk disebelahnya.
"Pete, tak adakah cara lain? Aku bisa gila. Kau lihat saja sendiri, dia seperti masih menganggap kami masih kecil." Ngadu ku
"Dia ulet. Tidak mengeluh walaupun capek. Aku suka cara dia bekerja." jelas Peter dengan santai yang semakin membuatku kesal.
"Bukan itu maksudnya. Senang di kamu, tapi bagaimana dengan nasib ku?" Suaraku hampir menjerit.
"Bersabarlah, bukankah kamu sudah sembuh?" Jawabnya masih tetap santai.
"Apa maksudnya bersabar? Kamu punya rencana bagaimana mengusirnya?" tanyaku penuh harap.
"Mengusirnya dari rumah mu atau dari Brilliant?" tanyanya balik.
"Keduanya." Jawabku.
"Tidak mungkin. Dia tidak boleh keluar dari Brilliant. Aku membutuhkannya." Jawabnya. kali ini tampangnya lebih serius.
"Tidak." Aku benar-benar stress sekarang. Sahabatku membiarkan aib masa kecilku tinggal di Brilliant.
"Kamu jujur saja dengan Qwen agar mencari tempat tinggal yang lain. Apalagi kini dia sudah punya pekerjaan tetap, tidak mungkin selamanya tinggal bersamamu." Peter mematikan televisi setelah puas mengganti-ganti Channel.
"Itu juga maksudku. Tapi tidak bisakah kamu cari lagi Sekretaris yang lain? Yang tidak cengeng?." Kataku
"Tidak. Aku tertarik padanya." aku Peter sambil tersenyum.
"Maksud mu? Kamu menyukainya?" tanyaku kaget. Pete yang biasanya dingin pada wanita bisa tertarik pada gadis mungil itu?
"Iya. Tapi kayaknya aku punya rival." katanya lagi, masih tersenyum melihatku.
"Siapa maksudmu rival? Aku? Tidak. Aku sekarang malah takut melihatnya." Jawabku ngelak
"Peluangku sedikit. Dia menyukaimu." Jawabnya, kali ini tanpa senyuman.
***
Malam ini juga aku tidak bisa tidur. Pengakuan Peter sungguh membuatku terkejut. Bagaimana bisa, seorang yang tidak pernah pacaran atau bahkan dekat dengan wanita bisa mendadak menyukai teman sejak kecil ku itu. Apalagi mereka baru jumpa sejak dua hari yang lalu. Tampaknya Peter jatuh cinta pada keuletannya. Tapi, dia begitu karena aku. Mendadak rasa bersalah sedikit merasuk ke jantungku. Detik berikutnya, aku di kagetkan oleh suara ketukan di pintu kamarku. Pasti Qwen. Mau apa dia? Dengan malas, aku bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Tampak Qwen dengan mengenakan baju tidur Pink polos yang membuatnya semakin manis.
"Ada apa kok belum tidur?" tanyaku.
"Aku gak bisa tidur. Bolehkah aku tidur bersamamu malam ini?" tanyanya
polos.
Badanku mendadak kaku. Apa yang harus kulakukan? Mengusirnya atau membiarkan gadis manis ini masuk?
Belum sempat memutuskan, Qwen sudah menerobos masuk dan langsung menyelinap di balik selimut tempat tidurku.
"Baiklah, aku tidur di sofa saja." Jawabku sedikit kesal sambil mengambil bantal dan hendak berlalu.
"Jangan. Bukankah dulu kita juga selalu tidur bersama? Bercerita di balik selimut sampai tertidur." katanya sambil turun dari tempat tidurnya hendak menahan ku.
"Tapi sekarang kita sudah dewasa."Jawabku cepat.
"Walau sudah dewasa tapi tidak ada yang beda dari kita. kamu tetap kamu dan aku tetap aku." Jawabnya lancar.
Tapi sepertinya dia tidak mengerti maksud ku.
"Keadaan sudah berubah ketika kita sudah dewasa. Aku takut gak bisa mengontrol diriku. Bagaimana pun aku juga seorang pria." Jelasku, berharap dia mengerti.
Seorang Qwen lebih membuatku takut dari pada memikirkan hal lain yang bisa membuatku lepas kontrol.
"Aku percaya Padamu." Jawabnya, dia menahan lenganku dan memandangku penuh harap.
"Tidak, jangan memandangku dengan tatapan seperti itu." Jeritku dalam hati. Beberapa detik berlalu, aku luluh.
"Hanya malam ini saja." aku nyerah.
Qwen tertawa girang dan menarik ku ke tempat tidur. Jika yang melakukan ini adalah gadis club, tanpa basa basi dia sudah ku serang. Qwen, bahkan aku gak berani menyentuhnya dan tak berani berharap. Dia seperti racun, melihatnya saja bisa membuat ku menderita, mengingatkanku bagaimana aku menangis kesakitan, tidur dengan tubuh penuh luka. Malam ini dia tidur nyenyak di pelukan ku, sedang aku sibuk berperang dengan ingatan masa lalu ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan ku
RomansaMasa kecil yang bahagia karena ada dia yang selalu melindungi ku, berbagi cerita di balik selimut hangat, dan dia berjanji akan menikahi ku jika sudah dewasa nanti. Setelah bertahun-tahun aku merindukannya, akhirnya aku ada kesempatan untuk pergi me...