Bab 27

5.4K 216 4
                                    

"Tidak akan hamil." Kataku yakin saat sedang makan siang di restoran sushi.

"Kenapa kamu begitu yakin?" Tanya Peter ragu

"Aku baru mendapat haid." Bisikku sepelan mungkin sambil mencondongkan tubuhku sedikit ke arahnya.

"Walau begitu kita harus menikah." Katanya serius.

"Tidak secepat itu." Elak ku.

Percakapan kami terhenti oleh pramusaji yang mengantar satu paket sushi set di hadapan kami.

"Aku akan membicarakannya lagi pada orang tua ku." Kata Peter saat pramusaji sudah meninggalkan kami.

***

Hari-hari berikutnya berlalu dengan kesibukan yang seperti tidak ada habisnya. Orang tua Peter juga sudah kembali ke Kanada, beberapa hari yang lalu Teddy sudah kembali ke perusahaan dan bekerja seperti biasa. Karena sama-sama sibuk, aku masih belum bertemu dengan nya.
Selina mengirim pesan text padaku kalau dia dan Teddy sudah mulai berkencan. Aku hanya membalasnya dengan mengirim icon senyum padanya.

Hari gajian tiba, aku takjub melihat angka yang tercetak di buku tabungan ku. Melihat ampe sejuta kali juga angkanya tidak berubah. Ini sih cukup untuk membeli ladang.

"Segitu banyakkah gaji menjadi sekretarismu?" Tanyaku pada Peter yang sedang duduk di sofa apartemen ku sambil menunjukkan buku tabunganku. Dia mengambil nya dari tanganku dan pura-pura mengamatinya dengan serius.

"Banyak yah." Katanya.

"Serius." Aku pura-pura ngambek.

Peter merangkul ku meletakkan kepala ku di bahunya.
"Aku menambahnya sedikit." Ngaku nya

"Tidak perlu seperti itu. Aku bukan tipe pemboros." Protesku.

"Untuk jaga-jaga. Siapa tahu suatu hari kamu sudah bosan bersama ku maka kamu sudah punya sedikit modal untuk melakukan hal lain."

"Jadi kamu ingin aku meninggalkan mu?" Tanya ku bercanda

"Tidak."

"Kalau begitu jangan mengatakan hal semacam itu lagi." Perintah ku

"Minggu depan, kita ke rumah orang tua mu. Belilah sedikit keperluan untuk mereka dengan ini." Katanya sambil mengangkat buku tabunganku.

"Kamu mau ke rumah orang tua ku?" Tanyaku takjub

"Iya." Bisiknya di telingaku lalu menggigitnya pelan. Aku meringis, dia menatapku lekat. Mengusap pipi ku lembut lalu menciumnya.

Bisa kurasakan kasih sayangnya terhadapku. Sebenarnya hatiku belum sepenuhnya untuk dia. Aku masih merindukan Ted. Mungkin sudah menjadi kebiasaan dari dulu, merindukan orang yang sama setiap hari sampai detik ini juga. Aku sedikit merasa bersalah pada Peter yang secara tidak langsung ku jadikan pelarian ku dari Ted. Apalagi saat aku mengingat Ted yang sedang berkencan Selina, hatiku seperti teriris, rasa tidak ikhlas masih melekat kuat di dalam dadaku. Bagaimana reaksi Ted jika melihatku lagi? Apakah masih akan seperti kejadian sebelumnya sampai dia harus kembali terapi ke psikolog? Aku takut membayangkan Ted yang brutal, tapi aku merindukannya, sangat sangat merindukannya.

Pagi-pagi gerimis, aku menutup payung ku di depan pintu masuk Brilliant. Seorang Satpam memberi salam dengan ramah padaku dan aku membalasnya. Suasana masih lumayan sepi, aku kecepatan datang karena panik jika hujan akan semakin deras. Aku berjalan melewati bagian resepsionis yang masih kosong menuju Lift. Jalanku otomatis melambat saat melihat punggung seorang lelaki yang berdiri di depan lift. Sudah dua Minggu lebih aku tidak melihatnya, walau hanya memandang dari belakang, aku yakin dia adalah orang yang kurindukan. Jantungku berdebar kencang saat jarak kami semakin dekat. Aku berdiri tepat di sampingnya. Bayangan kami terpantul di pintu lift yang masih tertutup. Kami saling berpandangan melalui bayangan itu sambil membisu.

Ting

Pintu lift terbuka, kami masuk berbarengan. Dia menekan angka tujuan kami.

"Kudengar kamu sedang berkencan dengan Selina." Tanya ku tiba-tiba bermaksud mencairkan suasana.

"Sejak kapan kamu jadi suka gosip?" Balasnya dengan dingin.

"Maaf." Kataku singkat. Kami kembali membisu selama beberapa saat.

"Kami hanya pernah makan malam sekali." Katanya tiba-tiba. "Selina mengatakan padaku kalau kamu dan Peter akan menikah."

"Tidak benar." Kataku cepat dan tegas. Kepala Ted mendadak berpaling melihatku. "Sejak kapan kamu jadi percaya dengan gosip?" Kataku sambil tertawa.

"Benarkah? Bukankah kamu dan Peter sedang serius menjalin hubungan?" Suaranya masih terdengar dingin.

"Aku hanya tidak ingin mengecewakan nya. Dia selalu ada di saat aku terluka." Senyum ku menghilang.

Ting.

Pintu lift kembali terbuka, kami berdua masih mematung didalam. Tidak ada satupun dari kami yang ingin beranjak dari sana, sampai pintu lift tertutup kembali dan turun ke bawah.

"Kamu tidak menyukai Peter?" Tanyanya.

"Entahlah." Aku memalingkan wajahku menyembunyikan mataku yang mulai berkaca-kaca.

"Kamu pacaran dengan orang yang tidak kamu sukai. Begitu kesepian kah dirimu?" Suaranya sedikit berat.

"Karena aku kehilangan orang yang ku cintai." Aku berbalik dan berseru padanya. Air mata tak sempat ku bendung dan jatuh di pipi ku.

"Aku juga." Katanya datar. Air mataku semakin deras mendengarnya. Dadaku sakit, kami saling mencintai, kenapa tidak bisa bersama?

"Kalau begitu mengapa kamu setuju dijodohkan dengan Selina? Masih bisakah aku mengharapkan mu?" Tanyaku berusaha tenang sambil berusaha mengusap air mata ku yang tak berhenti mengalir.

"Jawabannya sama seperti kamu terhadap Peter." Jawabnya. "Kesembuhan ku tergantung kamu yang menjadi racun atau menjadi obat untukku."

"Aku?" Aku bingung dengan kalimat terakhirnya. Racun atau obat? Tentu saja aku ingin menjadi obat untuknya. Tapi bagaimana caranya?

"Kalau begitu, kita berusaha bersama yah. Kamu beritahu aku apa yang harus kulakukan?" Aku mengengam lengannya memohon.

Ting.

Lift lagi-lagi terbuka. Pemandangan diluar lift cukup membuat kami terkejut. Dengan secepat kilat aku melepaskan genggaman ku dan menggeser tubuh ku menjauhi Ted. Beberapa orang yang tampak berkumpul menunggu lift masih mematung.

Ting

Lift di sebelah terbuka, mereka semua bubar dan memasuki lift tersebut. Ted menekan tombol naik.

"Aku tahu betapa kamu ingin bersama ku. Begitu juga aku. Tapi, pikirkanlah perasaan Peter. Aku banyak berhutang padanya." Kata Ted serius.

"Aku tahu. Ini salahku" Jawabku pelan.

Setelah itu kami terdiam, sampai lift kembali terbuka dan kami berpisah di koridor.

Pilihan kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang