Bab 21

6K 227 1
                                    

Aku duduk di lantai kamar Ted bersandar di tepi tempat tidurnya. Aku sedikit kelelahan setelah membersihkan kamar yang terkena amukan Ted semalam. Sedangkan jam sudah menunjuk pukul sebelas dan Ted belum pulang. Sudah berkali-kali aku menelepon, tetapi selalu tidak aktif.

Entah sudah berapa lama aku duduk seperti ini sampai tertidur. Di dalam mimpi, aku merasa badanku melayang dan tercium wangi parfum yang sangat ku kenal.

"Ted, aku rindu kamu." Gumam ku dalam mimpi.

Aku mendarat di tempat yang empuk dan kehangatan menyelimuti ku. Wangi itu masih belum hilang. Rasanya damai dan indah, perasaan ini begitu nyata. Saat sadar ini bukan mimpi, aku berusaha membuka mataku. Cahaya yang remang-remang tidak dapat menghalangi mataku melihat Ted yang juga sedang menatapku. Aku bangkit dan melompat ke pelukannya.

"Maaf." Katanya tiba-tiba. "Aku sudah berusaha."

"Apa maksud mu?" Aku mendongak kan kepala melihatnya.

"Aku ingin bersama mu. Ingin sekali." Katanya lirih

"Kalau begitu, kita bersama selamanya." Aku kembali membenamkan kepalaku di dadanya dan memeluknya lebih erat.

"Aku." Suaranya semakin pelan "Tidak bisa."

"Kenapa.." Suaraku bergetar.

"Aku baru melukai orang dan di tahan di kantor polisi."kata Ted sambil menjauhkan badannya. "Peter yang menjamin aku keluar."

"Kamu tidak apa-apa? Ada terluka?" Tanyaku sambil mendekatinya. Lagi-lagi dia mundur dan memberi isyarat agar aku berhenti mendekatinya.

"Aku menghajar orang itu di Bar hanya karena dia tak sengaja menyenggol pundakku." Kata Ted kemudian jatuh terduduk di lantai. Dia kelihatan rapuh sekali, seperti orang yang sudah kehilangan harapan.

"Aku tak sadar saat menghajarnya. Dalam hatiku ada letupan api yang harus kulampiaskan sampai sepuas-puasnya." Ted menarik napas panjang "aku sadar setelah ada yang memukul punggungku dengan botol bir."

"Bagaimana dengan orang itu?" Tanyaku pelan. Aku ketakutan membayangkan kejadian itu.

"Sekarat." Ted tertawa lirih saat mengatakannya. "Aku hampir menjadi seorang pembunuh."

Aku hanya terpaku, pikiran ku kacau.

"Peter memberikan surat keterangan bahwa aku menderita penyakit jiwa dari dokter psikolog ku kepada polisi. Kalau tidak, tidak ada yang bisa menjamin aku keluar." Suaranya menjadi berat. Ted menatapku yang sedang mematung di hadapannya. "Tahukah kamu, Qwen. Aku harus menegak dua butir obat penenang untuk menjumpai mu."

Aku shock mendengarnya. Aku seperti baru di sambar petir berkali-kali secara beruntun. Jantungku berdebar kencang, kakiku mendadak kehilangan keseimbangan. Aku jatuh terduduk begitu saja di lantai. Dengan sisa tenaga, aku menahan tubuhku dengan kedua tangan di lantai.

Suara langkah seseorang terdengar masuk ke dalam kamar. Aku hanya bisa menebak-nebak siapa orang itu, karena kepalaku terlalu malas untuk mendongak. Orang itu berjalan menghampiriku, berjongkok di hadapanku dan mengangkat tubuhku seraya menyandarkan kepalaku yang lemas ke dalam dadanya. Aku mengenali orang itu, dia yang selalu ada di saat aku terpuruk. Dia yang selalu memberiku kekuatan, kepercayaan diri, dan untuk pertama kalinya aku merasa nyaman di pelukannya. Terlalu nyaman untuk mengubur segala kesedihan dan air mata ku di dalam dadanya. Dia adalah Boss ku.

"Aku sudah membereskan barang mu. Ayo kita pergi." Bisiknya di telingaku.

***

Tidak bisa tidur, mata ku tidak mau terpenjam seolah penasaran dengan tempat baru ini. Sulit di percaya, tempat yang begitu baru, mahal, lengkap, bersih, indah, rapi dan keren ini adalah tempat tinggal ku sekarang. Di sisi lain, aku senang karena sudah punya tempat tinggal yang tetap, tapi di satu sisi lagi apartemen ini ada pemberian Boss. Apartemen yang kudapat tanpa perlu susah payah dan segalanya cuma-cuma. Boss yang terlalu baik padaku, sudah pasti aku harus membalas kebaikan nya dengan bekerja lebih ulet lagi. Tapi aku takut Boss menjadi salah paham karena telah menerima pemberiannya ini. Apalagi Boss sudah terang-terangan mengatakan perasaannya terhadapku. Seolah-olah sekarang juga aku sudah menerima perasaannya, jika tidak aku terancam tidak punya tempat tinggal lagi.

Dilema. Aku menghela napas ku sepanjang panjangnya. Beberapa menit berlalu aku menatap dinding kamar tidurku dengan tatapan kosong. Tiba-tiba teringat Ted.

Saat perjalanan menuju ke apartemen, Boss mengatakan padaku kalau Ted akan menjalani beberapa terapi selama beberapa waktu dan selama itu Ted tidak akan bekerja. Pekerjaannya sementara akan di alihkan ke asistennya.
Apakah aku harus melepaskan Ted kali ini? Apakah aku bisa melupakan dirinya yang sudah kurindukan selama bertahun-tahun. Hati ku perih, nafas ku sesak. Inikah rasanya putus cinta? Ada perasaan tidak puas di dadaku.

Sudah pukul lima pagi. Mustahil kalau harus tidur lagi di jam segini. Aku memilih bangkit dari tempat tidur dan menuju ke dapur untuk melihat apa saja yang ada di sana. Di kulkas hanya ada air mineral. Tentu saja, mana mungkin Boss menyiapkan segalanya sampai isi kulkas dan lemari penyimpan. Tetapi alat memasaknya sangat lengkap. Aku memanaskan air untuk minum, mengganjal perut ku yang dingin. Aku menghabiskan air hangat ku sambil menikmati pemandangan subuh ibu kota dari jendela kaca. Setelah puas, aku mandi dan berpakaian.

Ting tong

Bel pintu berbunyi. Aku keluar dari kamar menuju ruang depan. Yang tahu aku tinggal di sini hanya Boss. Bukankah Boss hari ini harus ke bandara menjemput orang tuanya. Aku membuka pintu dan melihat sosok Boss mengenakan kemeja hitam ketat yang menonjolkan tubuhnya yang atletis dan celana jeans. Rambutnya juga tampak beda hari ini, sedikit shaggy. Beda sekali dengan tampilan di kantor.

"Kamu pakai pakaian kantor?" Tanyanya

"Tentu saja. Aku akan ke kantor sebentar lagi." Kataku setengah kaget mendengar pertanyaan Boss.

"Ayo, ganti baju mu dengan yang sedikit manis." Boss memutar tubuhku dan mendorong punggungku masuk.

"Kenapa?" Tanyaku

"Kamu ikut aku ke bandara menjemput orang tua ku." Kata Boss

"Apa?"

"Cepat ganti bajumu. Dandan lah yang manis." Perintahnya sambil mendorong ku masuk ke kamar.

Setelah lima belas menit di kamar, akhirnya aku keluar dengan berbalut terusan pink selutut dengan pita di bawah dada. Rambut ku gerai begitu saja dan memoles make up natural dengan lipstik pink dan lipgloss polos.

"Segini cukup?" Aku berdiri di depan Boss yang sedang duduk di sofa.
Boss terpaku beberapa saat kemudian bangkit dan posisi kepalanya miring sedikit seperti hendak mencium ku.

"Kamu manis sekali. Ingin sekali mencium mu." Wajah kami dekat sekali. Bisa kurasakan hembusan nafasnya.
Aku mundur beberapa langkah kemudian berjalan menuju pintu depan, Boss mengikutiku. Kemudian kami berangkat menuju bandara.

"Boss, ada yang harus ku bicarakan dengan Anda." Kataku saat di tengah perjalanan.

"Ada apa?"

"Tentang apartemen itu. Aku tidak bisa menerimanya dengan cuma-cuma."

"Tak usah di pikirkan. Aku hanya ingin kamu punya tempat tinggal yang tetap dan nyaman." Jelas Boss

"Kalau begitu, aku akan membayar uang sewa pada Boss. Anggap saja aku menyewanya." Boss tertawa mendengar permintaan ku.

"Baiklah kalau itu mau mu." Katanya setelah puas menertawakan ku

"Berapa yang harus ku bayar?" Tanyaku

"Terserah kamu saja."

"Baiklah. Aku akan mencari tahu berapa harga sewa apartemen biasanya." Jawabku pasti.

Pilihan kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang