Bab 5 (Calon) Sekretaris

9.3K 379 4
                                    

Tugas sekretaris bagiku adalah harus tahan banting, tidak manja ataupun cengeng. Sebenarnya bisa saja aku merekrut pekerja pria sebagai sekretaris ku. Tapi menurutku, wanita lebih teliti dari pria. Dan lebih enak di pandang, tetapi bukan berarti aku Playboy. Buktinya sudah 26 orang calon sekretaris ku yang tidak sanggup melewati training yang kuberikan. Memang, training yang kuberikan bukan sekedar test IQ atau menilai kinerja mereka. Melainkan test fisik untuk menilai apakah mereka bisa melakukan pekerjaan berat dan tidak cengeng.

Teddy, GM di perusahaan ku yang juga teman kuliah ku juga sahabat karib ku mengatakan cinta pertamanya datang dan akan melamar sebagai sekretaris ku. Seorang gadis manis bertubuh mungil. Bahkan Teddy menyuruh ku untuk lebih kejam lagi padanya. Semasa kecil Teddy mengalami banyak hal-hal buruk yang hampir merenggut masa depannya. Orang tua asuhnya berhasil menyelamatkannya sebelum dia benar-benar hancur. Dan gadis kecil itu salah satu tokoh yang mengingatkannya pada masa lalu yang menyedihkan itu. Tak heran dia ingin cepat-cepat mengusirnya.

Seperti biasanya aku duduk di depan meja presdir ku yang mewah dan berkelas sambil melihat agenda kerja ku hari ini. Susahnya tidak punya sekretaris adalah segala sesuatu harus dilakukan sendiri. Punya Sekretaris menjadi salah satu impian ku saat ini. Pukul 9, seseorang mengetuk pintu dan aku mempersilakan masuk.

Teddy muncul dari balik pintu dan seorang gadis yang benar-benar bertubuh mungil mengikuti dari belakang.

"Peter, ini calon sekretaris mu. Dia baru di wisuda tahun ini dan lulus dengan nilai hampir sempurna. Kurasa dia bisa." Teddy memperkenalkan gadis mungil itu dengan formal, layaknya seorang bawahan.

"Tinggalkan dia disini, akan ku interview sendiri. Mungkin memakan sedikit waktu dan... Usaha." Kata terakhir kuucapkan dengan nada berat dan sedikit mengancam. Gadis kecil yang bernama Qwenny Gregory menatapku dengan penuh percaya diri dan mata berbinar. Tidak berbeda dengan 26 mantan sekretaris ku pada saat melamar. Detik berikutnya Teddy pamit diam-diam mengedipkan mata padaku. Aku mengerti maksudnya, - lebih kejam.

Ku biarkan gadis mungil itu berdiri sedang aku sibuk membolak-balik lembaran lamaran pekerjaan padahal tidak kubaca satu kata pun. Setelah puas, aku berdiri dan menghampiri gadis mungil yang bernama Qwen itu. Rambut cokelatnya digerai begitu saja, dia cukup cantik dan memang manis seperti cherry. Blazer dan rok A-line yang dia kenalan tidak cukup untuk membuatnya tampak lebih dewasa.

"Apakah kamu takut mati?" Tanyaku tiba-tiba dengan suara berat.

"Tidak. Manusia tetap akan mati suatu hari nanti. Walaupun begitu, aku berusaha untuk tetap hidup." Jawabnya mantap.

Aku terkesima sesaat mendengar jawabannya. Dua puluh enam orang lainnya kebanyakan menjawab dengan nada manja, "takut. Aku masih belum menikah.". "Kalau Anda boss ku, aku tidak takut mati." Atau sejenisnya.

"Baiklah kalau kamu tidak takut mati, ikut aku." Jawab ku tak kalah mantap. Aku meraih iphone dan note ku dan berjalan keluar ruangan. Bisa kurasakan langkah kakinya mengikuti ku dari belakang, sampai ke basement tempat mobil ku di parkir.

"Naiklah." Saat itu bisa kulihat wajahnya yang tampak bingung.

Mobil ku melaju sekitar dua puluh menit dan sampai di tujuan. Selama itu jugalah kami tenggelam dalam keheningan. Padahal aku ada sedikit berharap dia bertanya padaku Kemana kita hendak pergi. Ku parkir Mobil ku didepan sebuah Sport Center ber lantai tiga langganan ku. Qwen masih diam mengikuti ku masuk ke gedung melewati resepsionis yang sudah kenal baik denganku dan masuk ke lift. Lift melaju ke lantai paling atas di ruangan terbuka yang lebar atau tepatnya di atap gedung. Dari ujung sana sudah nampak ada beberapa orang sedang memanjat dinding berbatu, atau dikenal dengan nama Rock Climbing. Qwen pasti tidak menyangka aku akan menginterviewnya dengan cara seperti ini. Raut wajahnya tampak tegang sekaligus bingung, seolah tak percaya pada apa yang dilihatnya. Kurasa dia sudah bisa menebak jika aku akan menantangnya memanjat sekaligus mempertanggungjawabkan pernyataan tidak takut mati nya itu.

Aku menghampiri instruktur Rock Climbing agar menginjinkan qwen untuk mencobanya. Tak perlu kujelaskan panjang lebar, lelaki berbadan six pack itu langsung menyuruh asistennya yang perempuan untuk membawa qwen ke kamar ganti.

"Buktikan jika kamu tidak takut mati." Kataku pada Qwen.

"Tidak bisa mati dengan ini. Aku pernah memanjat tebing sungguhan dengan ayah ku." Jawabnya percaya diri kemudian beranjak pergi ke kamar ganti.

Dalam hati aku menggerutu mendengar jawabannya. Dia tidak semanis tampangnya. Tetapi aku masih belum yakin sebelum melihat dia benar-benar memanjat. Selagi menunggu, aku mengirim text ke Teddy.

"Rock Climbing tidak cukup membuatnya takut. Kau yakin dia cherry, bukan kenari?"

Semenit setelah pesan terkirim, Teddy balas, "kenapa tidak kau bawa saja ke camp militer?" Teddy pasti sedang stress, tapi idenya cukup menarik. Camp militer wanita, tapi tidak untuk umum. Mana mungkin bisa masuk. Tak lama kemudian qwen sudah siap dengan mengenakan kaos dan celana pendek. Asisten wanita itu memasangkan tali pengaman ke pinggang qwen, sedangkan instruktur berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas. Qwen tampak mengangguk-ngangguk mendengar penjelasannya. Tidak usah menunggu lama, tampak qwen sudah mulai memanjat satu meter pertama. Walau tangan dan kakinya pendek, tapi dia bisa dengan sigap meraih satu batu dan berpindah kebatu yang lain. Tak berapa lama dia sudah mencapai tujuh meter dan instruktur berteriak cukup padanya. Seperti pemanjat profesional, dengan gampangnya dia meluncur turun berpegangan pada tali pengaman sambil sesekali kedua kakinya menendang ke dinding. Instruktur dan asisten beserta pemanjat lainnya tepuk tangan menyambut dia turun. Hanya aku yang terkesima melihat gadis mungil yang pemberani itu. Setelah melepas tali pengaman di pinggangnya, qwen menghampiriku.

"Bagaimana? Apakah aku lolos interview?" Tanyanya penuh percaya diri. Masih ada beberapa butir keringat yang tertinggal di dahi dan turun ke pipinya.

"Mission one complete. Siap-siap untuk misi ke dua." Kata ku dengan gaya militer.

Hari ini sungguh membuat mata ku melalak. Satu persatu tantangan yang kuberikan berhasil di laksanakan dengan hampir sempurna. Loncat dengan ketinggian sepuluh meter di kolam renang, membiarkan ular melilitnya di kebun binatang, makan siang dengan mie super pedas, terakhir aku sedang menunggunya turun dari JetCoaster di taman bermain. Sungguh membuatku speechless, dia tampak menikmati semuanya dari pada disebut tantangan. Sambil tertawa riang dia menghampiriku.

"Masih ada yang lain? Aku suka di sini. Banyak permainan yang mengasyikkan." Seketika aku seperti sedang menemani adik kecilku bermain. Tetapi dia sedikit membuat hatiku tergerak. Dia bukan gadis manja dan cengeng yang pernah ku usir sampai dua puluh enam orang. Aku cuma tersenyum padanya. Sambil berjalan mencari gerbang keluar, aku berpikir apakah dia resmi jadi sekretaris ku? Bagaimana dengan Teddy? Saat itu juga seorang anak kecil tampak nangis menjerit-jerit keluar dari sebuah rumah hantu. Ibunya sedang berusaha menghiburnya. Muncul ide, ini misi terakhir. Aku melihat ke arahnya sambil tersenyum penuh arti.

"Selamat menjadi sekretaris ku setelah berhasil keluar dari sana tanpa air mata atau jeritan." Kataku yakin. Sebenarnya aku yakin dia pasti bisa, rumah hantu ini hanya ditakuti oleh anak-anak kecil saja. Hanya, sebagai boss aku juga harus menepati janji. Mungkin Teddy punya cara lain untuk mengusirnya. Setelah membeli tiket, qwen kali ini tampak pucat. Aku memberikan tiket masuk padanya, dia mengambilnya dengan ragu dan sedikit gemetar.

"Kamu takut?" Tanya ku. Sudah jelas dia ketakutan tetapi dia tidak berani mengatakannya. Sambil menggenggam erat tiketnya, dia merapatkan kedua tangannya seperti sedang berdoa dan memenjamkan mata. Dari bibirnya bergumam, "Ted, aku pasti bisa." Setelah itu dia berjalan masuk ke rumah hantu itu. Apa aku tidak salah dengar? Dia melakukan semuanya demi Teddy. Gadis malang, Ted malah sedang berusaha mengusirnya. Aku menunggunya dari pintu keluar. Hanya sepuluh menit dia sudah keluar dengan keringat bercucuran dan wajah pucat. Aku akan heran jika dia melakukan semua ini hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Tetapi jika untuk orang yang dicintai, jawabannya mungkin saja.

"Selamat bekerja, sekretaris ku yang pemberani." Aku mengulurkan tangan mengajaknya berjabat. Detik berikutnya senyumnya merekah, wajah pucat nya hilang seketika, yang tersisa hanyalah keringat yang belum sempat diseka.

Aku menelepon Teddy untuk menjemput sekretaris Malang ini. Kami menunggu di Cafe dekat taman bermain sambil makan malam. Teddy datang satu jam kemudian, wajahnya penuh harap tetapi kemudian tampak kecewa setelah melihat gadis cherry nya tersenyum lebar melihat kedatangannya. Aku menggeleng pelan pada Teddy, dari raut wajahnya aku tahu dia ngerti arti isyarat ku. Aku gagal. Aku dikalahkan gadis kecil bertubuh mungil yang sedang berjuang demi cinta pertamanya sejak kecil. Sekaligus, aku senang karena mendapat seorang sekretaris - akhirnya.

Pilihan kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang