Bab 19

6.1K 215 2
                                    

Pindah kembali ke rumah Ted membuat ku sangat sangat sangat bahagia. Capek karena pekerjaan yang tidak ada selesainya hilang seketika, apalagi Boss yang sedang not in good mood saat ini tidak ada lagi di pikiranku. Otak ku sekarang hanya ada Ted.

Selesai makan malam aku menyusun baju-baju ku ke dalam lemari pakaian sambil bersenandung. Belum selesai, seseorang berdiri di depan pintu kamar yang tidak tertutup. Aku tersenyum padanya.

"Sebentar lagi selesai." Kata ku sambil terus melanjutkan lebih cepat.

"Sudah malam. Besok saja di lanjutkan." Kata Ted sambil memelukku dari belakang.

"OK." Jawabku lalu berbalik memeluknya.

Ted mendadak menggendong ku. Aku terpekik kaget dan memeluk erat leher nya.

"Kita ke kamarku saja yah." Bisiknya di telingaku dan menyempatkan bibirnya mencium hidung ku. Aku mengangguk kemudian bersandar di dadanya.

Ted membaringkan aku di tempat tidur nya. Membelai rambut ku, telinga, pipi dan menyentuh bibirku dengan jarinya. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan Aku bersedia dengan ikhlas, karena dia adalah Teddy. Orang yang kurindukan dan kunantikan selama bertahun-tahun lamanya.

Saat bibir kami bersentuhan, aku semakin hanyut dan semakin hanyut ke dalam mimpi yang indah. Aku tidak ingin bangun dari mimpi ini. Ciuman yang hangat dan lembut berpindah dari bibir menuju leherku. Rasa geli ini membuat mataku otomatis terpenjam menikmati setiap sentuhan bibir yang semakin liar. Tapi tidak lama, Ted melepaskan ciuman nya dan mengangkat tubuhnya menatap ku.

"Bolehkah?" Tanyanya hampir berbisik.

"Aku milik mu." Ted tersenyum mendengar jawabanku. Tak perlu butuh waktu lama, Ted membuka kancing piyama ku satu persatu.

Seperti bayi yang sedang kehausan, Ted menikmati payudara ku secara bergantian. Desahan lepas begitu saja dari mulutku dan Sesekali aku menggeliat karena geli. Setelah puas, ted dengan pelan menurunkan celana piyama dan celana dalam ku sekaligus. Malu rasanya, tapi aku tahu tidak ada yang perlu di tutupi lagi dari Ted. Aku hanya pasrah saat dia membuka paha ku dan menjelajahi daerah kewanitaan ku dengan jarinya.

Aku tidak tahu sudah berapa menit telah berlalu, sampai aku merasakan detik detik hilang nya keperawanan ku. Sakit, perih, itu lah yang kurasakan. Aku berusaha mengabaikan rasa sakit ku, karena kulihat Ted sangat menikmatinya. Tapi, rasa sakit berangsur hilang, yang ada hanyalah kenikmatan yang tidak bisa ku utarakan. Ted mengeluarkan benihnya di dalam rahim ku.
Apakah bisa hamil? Pikiran itu terlintas begitu saja di dalam otakku. Seharusnya tidak, ini sudah mendekati tanggal haid ku yang tinggal beberapa hari lagi.

Ted terengah-engah dan berkeringat di atasku, dia menyandarkan pipinya di bahuku. Aku memeluk lehernya dan mencium dahinya.

"Inikah yang di sebut bahagia?" Bisik ku.

***

"To.. Tolong! Ampun, Ma!"
Aku mendadak terbangun mendengar suara gumam yang tidak jelas. Aku bangkit dan melihat Ted sedang menggeliat dalam tidur dan terus mengigau.
"Sakit... MAMA!!"

Aku ketakutan melihat Ted seperti itu. Dia terus mengeliat dan menjerit dengan mata terpenjam walau bagaimana aku memanggilnya.

"JANGAN!!!" Ted bangun dengan tiba-tiba dan mendorong tubuhku kuat. Aku hampir terjatuh dari tempat tidur. Aku bangkit sambil mengelus dada ku yang terkena hantaman tangannya yang kuat.

Ted terduduk dengan keringat bercucuran dan wajah pucat. Matanya merah, ada air mata yang baru jatuh dari pelupuk nya.

"Ted, kamu baik-baik saja?" Tanyaku sambil mendekati nya.

"Jangan mendekat." Suaranya bergetar, dia menjauhkan badannya dari ku.

"Ted, ka.. "

"Tinggalkan aku sendiri. Aku mohon." Air matanya masih jatuh.

"Benarkah kamu baik-baik saja?" Tanyaku khawatir. Ingin sekali memeluk dan menenangkannya.

"TINGGALKAN AKU SENDIRI !!" Seru nya lagi dengan kasar.

Akhirnya aku keluar dari kamarnya. Aku duduk berjongkok di samping pintu kamarnya. Pikiran ku kacau, terlintas lagi di otakku wajah Ted yang ketakutan. Ted pasti bermimpi kekerasan yang dia alami ketika masih kecil. Aku merasa diriku sangat tidak berguna. Tidak bisa menghiburnya, bahkan Ted menolak untuk ku dekati. Apakah aku benar-benar adalah ketakutan masa lalunya?

Aku mendengar Ted berteriak disusul suara benturan di dinding. Suara kaca yang pecah, barang-barang yang jatuh ke lantai. Aku hanya bisa duduk menangis membayangkan Ted yang sedang melampiaskan ketakutannya.
Apakah aku sanggup membuat dia melupakan masa lalunya? Atau Akulah yang menggali ingatan yang sudah terkubur itu. Benarkah aku harus meninggal kan Ted? Hati ku perih, rasa bersalah dengan cepat memenuhi hatiku. Aku hanya bisa menangis tanpa tahu harus berbuat apa.

Pilihan kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang