Bab 29

5.9K 238 2
                                    

Sabtu pagi. Sesuai janji dengan Peter, kami berangkat menuju rumah orang tua ku. Aku bahkan sudah melupakan hal ini, sampai-sampai lupa membeli tiket pesawat dan oleh-oleh untuk Papa dan Mama. Tapi ternyata semua sudah di siapkan Peter.

Saat ini kami duduk di dalam taxi menuju bandara, Peter duduk di sebelah sambil menggenggam jemariku.

"Sepertinya sedikit berlebihan. Kamu terlalu banyak membeli. Aku yakin Papa dan Mama pasti terkejut." Kataku padanya sambil menunjuk ke bagasi belakang.

Oleh-oleh yang di beli Peter tak lain adalah Bantal kesehatan, terapi akupuntur, Juicer, minuman kesehatan, Sarang Burung Wallet, dan ada beberapa yang aku lupa. Peter membeli semua ini tanpa sepengetahuan ku, mungkin dia tahu aku akan melarangnya membeli barang yang terlalu mahal, walaupun harga bukan masalah bagi dia.

"Jadi kamu sudah memberi tahu orang tua mu tentang kedatangan kita?" Tanya Peter.

"Tidak. Aku ingin buat kejutan pada mereka." Kataku dengan senyum jahil.

"Kamu yakin, bagaimana kalau mereka tidak ada dirumah?" Tanya Peter memastikan

"Tidak mungkin, aku selalu tahu kegiatan papa dan mama." Pasti ku "Tapi, aku mengenalkan mu kepada mereka sebagai apa?"

"Pacar, tunangan, calon suami, terserah mu." Katanya menggoda ku.

"Boss." Kataku sambil mencibir nya.

"Boleh saja, katakan pada mereka calon suami mu adalah Boss mu." Katanya sambil menarik hidung ku.

Mengingat akan pulang Kerumah, membuat suasana hatiku menjadi baik. Segarnya udara di Desa akan mengisi ulang energi dan mood menjadi lebih baik. Ingin sekali cepat-cepat sampai di rumah. Tak sabar ingin melihat wajah Papa dan Mama yang terkejut.

***

Menjelang sore, aku dan Peter sudah duduk di dalam Bus menuju tempat tinggal ku. Bus yang kami tempati di penuhi oleh ibu-ibu dan anak-anak yang baru berbelanja dari kota. Beberapa dari mereka melihat ke arah kami dengan penasaran, lebih tepatnya melihat ke arah Peter. Jarang sekali ada lelaki berpakaian modis, tampan, dan tubuh atletis di tempat ini. Wajar saja, bahkan ada beberapa gadis yang curi-curi pandang ke arahnya. Sedangkan Peter berusaha mengabaikannya padahal ku tahu dia sangat tidak nyaman. Tebak ku, ini pertama kalinya dia naik ke angkutan umum apalagi yang berdesakan seperti ini.

"Kenapa kamu juga ikut mengamati ku seperti ini? Ada yang salah dengan wajahku?" Tanyanya canggung saat mendapati aku sedang melihatnya sambil mengusap-usap pipinya seolah-olah ada sesuatu di sana.

"Kamu pasti baru pertama kali naik bus?" Tebak ku. Dan tebakan ku benar, Peter mengangguk.

"Pasti sangat tidak nyaman, bukan?"

"Tidak juga. Hanya belum terbiasa." Elaknya. Peter tidak pandai berbohong.

"Tinggal beberapa tikungan lagi kita sampai di halte." Hibur ku.

Dan benar, sekitar lima belas menit kemudian kami sampai di halte bus dan semua penumpang pun turun, bergantian dengan penumpang baru yang sedari tadi sudah menunggu di sana.

Kami menenteng bawaan kami dengan susah payah. Akibat dari Peter yang terlalu boros.

"Dimana kita akan naik kendaraan ke rumah mu?" Tanya Peter saat sudah lumayan jauh dari halte.

"Tidak ada kendaraan umum disini. Harus jalan kaki, ikut saja aku." Jelasku.

"Jalan kaki?" Tanyanya tidak percaya.

Perjalanan menuju rumahku sebenarnya sangat mengasyikkan jika sambil menikmati pemandangan sekitar. Tapi karena bersama Peter, rasanya aku jadi ingin cepat-cepat sampai di rumah. Kasihan juga melihat dia berjalan sambil mengangkat banyak kantongan seperti itu.

Pilihan kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang