Happy Reading!
-
-
-Perjalanan pulang masih sama dengan berangkat. Seungmin mengesampingkan egonya, ia mengangguk paham dengan kepulangan sang kakak nanti sore. Mungkin kali ini perjalanan mereka hanya singkat, waktu yang dilaluinya begitu cepat. Sudah cukup rasa sedih yang si bungsu rasakan, ia harus mengerti, Woojin dan Chan kembali untuk bekerja.
Memang saat semalam, Seungmin lebih banyak diam hingga ia tidur di pelukan Woojin. Namun, saat pagi menyapa, senyuman manisnya sudah terpatri membangunkan ketiga pemuda lainnya. Seungmin tahu, kepulangan Woojin dan Chan nanti biar menjadi memori baik di pikirannya, jadi disebarkan senyum menawan itu pada semuanya menyatakan bahwa ia akan baik-baik saja.
Mereka check-out hotel pada pukul tujuh, saat mentari masih sedikit malu untuk menampakkan keindahannya. Hyunjin dan Chan sempat berdebat kecil, memilih siapa yang akan memimpin perjalanan mereka kali ini. Sebelum akhirnya Hyunjin mengalah saat Chan bersikeras yang mengendarai mobilnya.
Lima jam perjalanan diisi dengan tawa dan celotehan Seungmin, seakan energi tak ada habisnya. Ia sibuk bercerita pada Woojin, Chan dan Hyunjin yang menduduki kursi depan ikut menimpali dan tertawa bersamanya. Seungmin merasa lepas, yang terlintas di pikirannya adalah kakaknya tidak boleh merasa sedih. Jadi, ia betul-betul menunjukkan tawa itu agar Woojin juga dapat merasa lepas saat nanti pulang.
Sesampainya di apartemen Seungmin, Woojin dan Chan langsung sibuk menata barang mereka. Karena hari menjelang siang saat mereka tiba, Seungmin berjalan ke dapur yang ternyata diikuti oleh kekasihnya. Mereka berdua menyiapkan makan siang, tak memperbolehkan Woojin memasuki dapurnya, malah Hyunjin yang menyuruh pemuda beruang itu untuk beristirahat. Woojin pasrah dan akhirnya membiarkan yang lebih muda menyelesaikannya.
-
-
"Bilang padaku kalau Hyunjin menyakitimu."
Seusai kalimat lembut tapi tajam itu dialunkan oleh Woojin pada Seungmin. Chan hanya tertawa melihat kekasih sang adik yang takut-takut ditatap oleh Woojin.
Mereka sudah di Toronto Pearson International Airport, bandara yang sama tempat Seungmin dan Hyunjin mengantar orang tua Hyunjin saat yang lalu. Dilihat dari papan informasi, masih ada waktu setengah jam sebelum Woojin dan Chan dipersilakan check-in.
"Tapi, hyung janji juga angkat teleponnya," rengek Seungmin sambil memeluk lengan kanan Woojin hyung-nya yang menjawab dengan anggukan singkat.
"Kalau Woojin sedang sibuk di dapur, panggilah aku, jagoan," tangan Chan mengelus kepala si adik.
"Okay."
Waktu yang tersisa diisi oleh keheningan antar mereka. Hingga Chan menangkap suara pemberitahuan keberangkatan pesawat yang akan ia dan Woojin tumpangi. Chan berdiri kemudian menekuk lutut kanannya di depan si adik ipar menyejajarkan pandangan pada iris hitam itu. Tangannya meraih jari-jari Seungmin yang bertaut di atas pahanya.
"Sekarang, hyung pulang dulu, ya. Hyung mungkin belum bisa janji kapan bisa ke sini lagi. Tapi, hyung minta Seungmin jaga kesehatan. Perhatikan makanmu, Hyunjin juga," sekilas diliriknya Hyunjin yang juga ikut mendengarkan perkataan Chan, "aku dan Woojin khawatir saat Hyunjin meneleponku kemarin karena kamu tiba-tiba demam. Bukan hyung tidak ingin direpotkan, tapi hyung merasa bersalah karena tidak bisa menjagamu saat sakit kemarin, Seungmin."
Seungmin menunduk, tapi tak lama dagunya diangkat oleh Woojin dan ditangkup kedua pipi sang adik.
"Sudah, jangan merasa bersalah, yang pasti hyung hanya ingin berita baik dari kalian. Appa, aku, dan Chan selalu menunggu panggilan kalian, ceritakan pada kami semuanya. Mengerti, Seungmin?"
Seungmin mengangguk berulang kali, diulas senyum tipis pada bibir mungilnya. Kedua lengannya menarik sang kakak untuk dibawa ke pelukan hangatnya. Chan berdiri, tangan kirinya mampir ke bahu Hyunjin dan menepuknya dua kali.
"Jaga Seungmin. Kalau aku dengar sesuatu yang tak beres, kamu orang pertama yang akan kutanya. Paham?" Hyunjin mengangguk mantap.
"Terima kasih, hyung,"
-
-
"Seungmin..."
Hyunjin mengerang malas. Tangannya bergerak-gerak mencari eksistensi pemuda lainnya. Matanya mengerjap cepat melihat jam di dinding depannya. Bagaimana bisa ia terbangun pada pukul dua dini hari tanpa Seungmin di sampingnya? Tak ada jawaban yang ia dapatkan dari panggilan pada kekasihnya itu.
Hyunjin turun dari kasur, tanpa mempedulikan matanya yang belum terbuka dengan nyawa yang belum sepenuhnya sadar, ia hampir terantuk pada pintu kamar. Netranya melebar saat mendengar suara dari arah dapur. Tercium harum makanan kesukaannya. Didekati sosok itu yang berdiri membelakanginya.
"Seungmin."
Hyunjin terkikik geli, sosok di depannya tersentak kaget saat mendengar suaranya. Seungmin membalik tubuhnya dan menjawab dengan ringisan lucunya.
"You want it?" tangan kanannya menggoyangkan sebungkus ramyeon.
Hyunjin mengangguk cepat, siapa yang tak menolak?
Tak perlu menunggu lama, dua porsi mi kuah dengan telur itu terhidang di hadapannya. Ditambah kimchi yang tempo hari dibeli oleh Seungmin, menambah nikmat hidangan sederhana mereka. Tak sampai lima belas menit, keduanya sudah menghabiskan bagiannya masing-masing. Hyunjin berdiri dan mengambil bekas peralatan mereka, kemudian langsung dicucinya. Seungmin naik ke sofa di atasnya dan duduk bersandar di sana. Ia baru selesai makan dan kurang baik bila langsung tiduran.
Hyunjin ke kamar, sempat menimbulkan raut heran oleh yang lebih muda. Namun, terganti dengan kemunculannya membawa selimut mereka. Hyunjin mendudukkan diri di samping kanan Seungmin, mengalungkan lengan kirinya pada leher yang lebih muda. Seungmin menyamankan diri. Kepalanya bersandar pada dada bidang dominannya.
Diam menyergap mereka. Seungmin senang saat mereka seperti ini. Tanpa ada suara yang menganggunya untuk mendengar degup jantung dari yang lebih tua. Ia menaruh telinga kanannya tepat di dada kiri pemuda bersurai hitam. Membiarkan suara-suara itu menenangkan hatinya.
"Tadi aku mimpi," Hyunjin berdehem tanda mendengarkan ceritanya, "kamu pergi ninggalin aku," nada suaranya merendah.
"Ninggalin gimana?"
"Ya pergi, kamu pergi ninggalin aku, aku panggil kamu nggak dengar."
"Yang ada tadi kamu nggak jawab pas aku panggil," Hyunjin terkekeh, "kamu tahu? Katanya kalau kita mimpi ada yang ninggalin kita, tandanya bakal bersama orang itu terus,"
Seungmin memukul kencang paha Hyunjin.
"Ih, mana ada!" Hyunjin tertawa.
Seungmin merengut tak suka dijaili Hyunjin. Berbanding terbalik dengan perasaannya, tangannya memeluk erat pinggang yang lebih tua. Hyunjin melirik jam, hampir pukul tiga. Lengannya mencari keberadaan kaki Seungmin, diangkatnya agar sejajar dengan kakinya yang selonjor pada sofa. Tak lupa, sambil menyelimuti keduanya hingga sebatas pinggang.
Tangan kiri Hyunjin menumpu kepalanya. Menikmati keindahan paras Seungmin di depannya, mata bulatnya sudah mulai mengantuk. Hyunjin membalas peluk Seungmin dan mendekatkan tubuhnya agar tak ada jarak antar keduanya.
"Kamu cantik. Sungguh," suara serak Hyunjin mengintrupsi kediaman mereka. Jemarinya mengelus pelan pipi berisi Seungmin.
"Aku tampan!" matanya menatap Hyunjin sambil mengerucutkan bibirnya. Pemuda bersurai hitam tersenyum kecil, ibu jarinya masih bergerak konstan, dengan tatapan yang tak dilepasnya.
"Jangan membuatku malu, Hyunjin."
Hyunjin tak menjawab. Ia lebih memilih menatap dalam lawannya.
"Boleh aku memberitahumu sesuatu?"
"Apa itu?" Seungmin mendongak.
"I love you."
-
-
-
chessy banget, ya... :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Favorite (hyunmin) ✔️
Fanfiction"Kenapa memilih Kanada, Seungmin?" "Negara ini adalah impianku, suasana seperti inilah yang aku sukai. Kalau Hyunjin?" "Ada yang menarikku ke Humber." Sejak kali pertama melihat Seungmin, dengan yakin Hyunjin mendeklarasikan dirinya sebagai sosok fa...