24. So, are we friends?

51K 1.7K 203
                                    

"Hot mocachino untuk orang paling menyebalkan dicafe ini. " Kata Vana meletakkan secangkir kopi dengan senyum dipaksakan "Oh...with ekstra sugar."

"Wow kau memujiku? Menarik."

Vana hanya memutar matanya menanggapi sahutan Leon

"Tapi aku tidak ingat memesan tambahan gula." Kata Leon menatap Vana yang telah terduduk didepannya.

Ya, selama seminggu terakhir ini, Leon sengaja datang ke cafe ini setiap hari dan membayar Sammy lima ratus ribu agar dapat memaksa Vana untuk menemaninya selama dua jam. Harga yang terjangkau bukan?

"Aku sengaja menambahkan nya dengan harapan kau akan terserang diabetes."

Vana mengatakannya dengan nada santai dan membuat Leon meringis ngeri.

"Untung saja aku tipe manusia yang jarang terkena penyakit."

"Kau terlalu percaya diri."

"Jika benar aku akan mati, maka kau orang pertama yang aku hantui" Ujar Leon dengan memperlihatkan giginya dan berakting seperti vampir sambil mengeram kearah Vana.

"Itu lelucon yang buruk." sahut Vana dengan wajah datar.

Leon menghembuskan napas kesal, meskipun begitu, ia sudah terbiasa dengan sifat tidak bersahabat milik Vana. Entah mengapa sifat itulah yang membuatnya penasaran.

Vana, berbeda dari gadis lain.

"Aku ingin ke kamar mandi." ujar Vana berdiri dari kursi dan hendak melangkahkan kakinya.

"Are you kidding me? Aku membayarmu selama dua jam untuk mengobrol dan kau berniat menghabiskan waktu selama satu setengah jam untuk ke kamar mandi seperti biasanya?" Protes Leon.

"Itu lebih baik daripada menghabiskan waktu setengah jam untuk bertengkar denganmu."

Leon menarik tangan Vana sebelum gadis itu beranjak lebih jauh "Tidak Vana, aku tidak ingin rugi hari ini. Duduklah!"

"Leon aku serius." Vana melotot pada Leon sebelum melanjutkan kalimatnya "Aku benar-benar tidak tahan."

"Baiklah, ingin ku antar?"

"Jangan sampai tanganku mendarat di pipimu." Desis Vana lalu berjalan cepat meninggalkan Leon yang terkekeh.

Vana menuju kamar mandi dan menutup pintunya, butuh usaha ekstra untuk melakukannya karna memang pintu kamar mandi khusus karyawan disini sedikit macet.

Setelah selesai dengan buang air kecilnya, Vana mencuci tangan di wastafel dan memandangi cerminan dirinya di kaca. Ia memegang kedua pipinya.

"Sepertinya lemak dipipiku memang bertambah" Vana bermonolog dengan diri sendiri.

Mengenai rencana diet yang ingin dia lakukan, sebenarnya itu tidak berjalan dengan baik. Rasa lapar terus mendemo diperutnya dan ia tidak bisa menahannya, jadi Vana memutuskan untuk tidak diet.

Lagipula Dave bilang ia menerimanya apa adanya. Tidak peduli ia segemuk kingkong sekalipun, pria itu akan menerimanya, setidaknya itulah yang Dave katakan kemarin saat Vana menelfonnya.

Alis Vana menyengit tiba-tiba, ia mencium sesuatu, seperti bau gas elpiji atau bensin entahlah ia tidak begitu yakin. Ia beranjak meninggalkan wastafel dan membuka pintunya. Namun sialnya pintu itu macet dan tidak bisa terbuka.

Sial, cobaan apa lagi ini? Batin Vana.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan dan alarm kebakaran, Vana semakin panik dan berusaha sekeras mungkin untuk membuka dan menggedor pintu.

Zrelost (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang