Chapter 22

256 40 6
                                    

Kim Seokjin terdiam, membeku di balik kemudi. Bibirnya tak mengucap sepatah katapun. Ia pun cukup lama menahan nafasnya. Kedua matanya terbuka lebar untuk kemudian tertutup beberapa saat, lalu terbuka lagi dalam ketakutan.

Pagi itu cuaca terbilang masih cukup dingin, namun entah kenapa kedua telapak tangan yang masih memegang setir mobil dan buket bunga itu, tiba-tiba lembab karena keringat.

Tatapannya masih melekat kuat pada sepasang muda-mudi yang terlihat asyik bersenda gurau.

"Apa aku sedang bermimpi?" ujarnya lirih di sela-sela nafasnya yang memburu.

Sebuah pukulan keras menimpa hatinya. Terasa sakit. Begitu sakit, hingga membuatnya mati rasa. Walau dalam jarak hampir sepuluh meter, Seokjin bisa melihat dengan jelas senyum itu. Senyuman yang sudah lama tidak dilihatnya. Senyuman yang begitu tulus dan bahagia. Namun terasa begitu menyakitkan untuk disaksikan olehnya sekarang.

Seokjin mengakui dirinya begitu bodoh, akhirnya ia sadar. Harusnya ia keluar dari mobil dengan segera, berjalan menghampiri mereka dan melampiaskan kemarahan.

Namun kenyataannya, ia tidak melakukan itu.

Walau hatinya begitu terluka, ada rasa penasaran yang membuatnya tetap bertahan untuk mengamati kedua orang yang asyik dengan dunia mereka hingga tidak menyadari kehadirannya.

Keduanya terlihat bahagia. Dan serasi.

Seokjin tertawa hambar, menertawakan dirinya sendiri. Dia memang tidak sepantasnya marah pada Jung Hyerim karena gadis itu tidak menyakiti dirinya, sedari awal, Hyerim tidak pernah sekalipun menyakitinya.

Dirinyalah yang menyakiti Hyerim, dengan segala rencana yang telah ia buat dalam hidupnya dan melibatkan gadis tak berdosa itu.

Seokjin memang tidak seharusnya menyetujui sandiwara pernikahan yang keluarganya buat. Hyerim pun sebenarnya telah merelakannya, namun Seokjin lah yang datang kembali ke kehidupannya dan memintanya untuk sabar menunggu dirinya kembali dalam ketidakpastian.

Setelah puas memandangi dari kejauhan, ditaruhnya kembali karangan bunga tangan yang sedari tadi masih ia pegang ke atas kursi penumpang yang kosong. Seokjin sekali lagi menatap gadis yang masih tersenyum begitu lebar kepada Park Jimin yang duduk disampingnya, sebelum ia memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu.

***

Kepulan asap dari alat pemanggang daging sudah terlihat menipis dari teras rumah Jung bersaudara. Hyerim bersama Hoseok dan Jimin memang sudah mulai melakukan aktifitas panggang-memanggangnya sejak satu jam yang lalu, dan hampir sebagian besar daging dan kentang yang dibeli sudah matang semua.

Jimin yang mendapat giliran terakhir untuk memanggang, melirik ke arah Jung bersaudara yang sudah mulai asyik memakan daging yang telah matang dipanggang.

"Kalian enak sekali ya sudah bisa makan," gerutunya namun dengan nada bercanda.

"Haha, kau sudah lapar ya, Jim?" goda Hoseok sembari memasukkan daging yang sudah digulung dengan sayuran ke dalam mulutnya.

Jimin makin cemberut melihat ulah pemuda itu dan ia pun menghentakkan kakinya ke tanah. "Hyerim, aku juga mau daging. Tolong suapi aku~"

"Eh?" Hyerim yang keheranan dengan tingkah manja sang lelaki, hanya bisa melongo.

"Kau menjijikkan. Berhentilah melakukan itu. Kau tidak cocok ber-aegyo!" Hoseok melempari Jimin dengan sebuah baby potato yang belum matang dan ia buru-buru menghindar.

Tawa pun meletus dari mulut ketiganya. Dan tanpa diduga, Hyerim yang semula duduk di samping Hoseok untuk menikmati makanan, bangkit dari kursinya sambil membawa sebuah gulungan daging. Ia pun berjalan mendekati Jimin yang masih asyik memanggang.

You're Still MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang