L I M A B E L A S

114 7 3
                                    

Suasana taman begitu memabukkan seorang Sultan yang kini duduk meringkuk menatap kosong ke arah selembar foto dirinya dengan seorang perempuan yang begitu dicintainya. Sedangkan di sebelah kirinya menggenggam erat sebuah kertas dari rumah sakit. Ia benci takdirnya saat ini.

Yang Sultan inginkan hidup tentram tanpa ada masalah. Ia mencengkram erat kertas tersebut seakan dapat menyalurkan rasa amarah yang kini sedang berkobar di dalam benaknya. Tak terasa satu persatu air mata luluh di kedua kelopak matanya. Sedih, kecewa, marah bercampur menjadi satu dalam benak dan pikirannya. Kenapa harus dia?, kenapa harus Sultan yang merasakan takdir buruk ini.

Sesuatu mengalir deras melalui hidungnya. Kepalanya terasa begitu perih. Pandangannya terbagi menjadi dua. Sultan memegang bagian bawah hidungnya melihat cairan kental berwarna merah yang mengalir dari hidungnya.

Ia benci ini. Tangan kanannya memegang kepalanya yang semakin terasa perih. Pandangannya mulai memburam dan akhirnya dunianya menjadi gelap gulita. Tubuh lemah Sultan tergeletak di atas rerumputan taman sekolah. Keadaan saat ini dapat terbilang cukup sepi. Mungkin tak kan ada yang dapat menolongnya saat ini. Hanya tuhan yang ia butuhkan.

***

"Ca, Sultan pingsan," Cahya yang sebelumnya masih berkutik dengan ponselnya kini menatap risau ke sumber suara dimana seorang gadis berambut coklat berdiri di ambang pintu kelasnya. Dengan gerakan cepat, Cahya berlari menuju ruang UKS demi menemui sang pujangga hati. Ia menepis kasar air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Rasanya perih, semua rasa benci yang Cahya tanam untuk Sultan hilang hanya dalam tempo yang begitu singkat. Ia tak ingin kehilangan Sultan. Jangan, Cahya tak akan sanggup menahannya.

Pintu UKS tertutup rapat. Tampak dari luar jendela, sesosok laki laki terbaring lemas dengan seorang dokter dan dua suster yang kini sedang menanganinya. Air mata Cahya kembali menderas. Jangan ambil Sultannya. Jangan ambil sinar Cahya. Ia tak kuat.

Di samping kanan kiri Cahya sudah berdiri siswa maupun siswi yang merasa penasaran dengan kondisi Sultan saat ini. Knop pintu UKS mulai terbuka. Menampilkan sesosok dokter yang menatap risau ke arah seorang guru yang ada di hadapannya.

"Maaf bu, kondisi siswa tersebut harus mendapat tindakan intensif langsung dari pihak rumah sakit, hal ini karena penyakit yang diidap oleh pasien sudah tahap yang serius."

"Baik dok saya mewakili atas nama orang tua siswa yang lagi dalam tahap perjalanan dari Australia kesini dok meminta tindakan yang sebaik baiknya untuk siswa kami," dokter perempuan itu mengangguk dan segera memasuki kembali ruang UKS.

"Bu, Sultan sakit apa?" Tanya Cahya dengan wajahnya yang terlihat sembab serta hidungnya yang memerah. Bu Fitri selaku pembina UKS menatap Cahya sendu.

"Ibu gak tau jelasnya tapi waktu Sultan pingsan ibu nemuin foto ini sama surat yang kayaknya untuk kamu," Bu Fitri memberi sepucuk surat kepada Cahya. Dengan tangan yang gemetaran, Cahya meraih kertas dan selembar foto di atasnya. Hatinya kembali menyeri kala melihat foto dirinya dan Sultan yang pada saat itu berada di sebuah taman. Senyuman manis terpancar di raut wajah keduanya.

"Yang lainnya cepat masuk kelas sudah bel," semua siswa dan siswi yang semula menatap ke arah UKS kini berbondong bondong menuju kelas mereka masing masing. Sesekali mereka mengeluarkan suara lenguhan kecewa.

"Makasih ya bu," Cahya melangkahkan kakinya namun sebelum itu ia menyempatkan diri melihat keadaan Sultan yang sudah dibawa oleh ambulans ke rumah sakit terdekat. Rasanya Cahya saat ini ingin sekali berada di sisi Sultan, namun ia tak mungkin nekat membolos dan keluar dari pintu gerbang sekolah.

Cahya melangkahkan kakinya gontai ke arah taman belakang sekolah. Ia mendaratkan bokongnya di salah satu kursi taman. Air mata kembali luruh membasahi kedua pipinya. Perlahan lahan ia membuka sepucuk surat yang Sultan kirim untuk dirinya seorang.

Dear Cahyaku,

Ini aku Sultanmu. Aku hanya ingin menyampaikan pesan singkat ini untuk dirimu seorang, aku tahu waktuku tak akan lama lagi di dunia ini. Maaf ya kalo beberapa hari ini aku gak sempat memberimu kabar apapun sehingga membuatmu semakin sengsara karena ulah diri ini.

Ca, aku hancur kala melihatmu meneteskan air mata berharga mu itu. Kau tau, Ca seberapa hancurnya aku tapi aku tidak bisa berbuat apapun selain meratapi nasib bodoh ini. Aku benci takdir hidup ku Ca. Maaf kalo aku menutupi ini semua dari kamu. Aku gak mau kalo kamu tahu semua ini malah membuatmu semakin hancur.

Disini, di surat ini aku akan memberitahumu rahasia yang selama ini aku tutupi darimu. Penyakit kanker otak yang dulu sempat menghinggap di tubuh ini kembali lagi bagai benalu hidupku. Aku benci kala aku mengingat itu Ca, aku marah, kecewa, sedih dan hancur dalam waktu yang bersamaan. Kamu selalu bertanya kenapa aku tak lagi mengantar jemput mu. Kau tahu, setiap hari sehabis pulang sekolah aku harus check up ke dokter agar penyakit menyebalkan ini lenyap dari tubuhku.

Aku kesal kala setiap malam harus berhubungan dengan obat obatan yang sangat menyiksaku. Jujur saja, di saat seperti ini bayanganmu lah yang hadir memenuhi relung hatiku yang sudah hancur.

Cahya, aku tak mau kamu kehilangan sahabatmu, Izah. Dia tak salah, aku akan menjelaskan kepadamu mengenai foto yang kamu dapatkan tentang aku dan Izah entah dari mana. Selasa malam, setelah check up di dokter langgananku, aku berhenti di sebuah taman yang dulu biasanya kita menghabiskan waktu bersama. Suasana malam yang menyerang ke dalam kalbuku.

Danau yang terlihat gelap pada malam hari membuatku ingin melenyapkan diriku saja ke dalam danau itu. Aku bagai mayat hidup yang berjalan, tak mempunyai setitik pun cahaya untukku bangkit kembali. Tapi dengan menatap wajahmu saja, hatiku sedikit menghangat karna dirimulah arti hidup ini sekarang.

Izah yang pada waktu itu sedang membeli minuman di taman yang sama melihat diriku yang menyedihkan ini. Ia mendekatiku dan mulai menanyakan ada apa denganku sehingga membuat sahabatnya, kamu merasa bukan seperti mengenal diriku. Aku tak tahan untuk memendam kepedihan ini sendirian Ca, dan pada malam itu aku mengutarakan semuanya kepada Izah. Izah pun sempat kaget dan menyangka aku berbohong. Tapi akhirnya dia mempercayainya.

Aku ingin sekali membagi ini kepadamu bukan Izah, tapi sepertinya takdir tak memperbolehkan kamu tetap bersamaku. Izah itu orang yang baik Ca, tapi bagiku kau lah yang terbaik di antara yang terbaik lainnya. Aku bersyukur kepada tuhan karena telah menghadirkan kamu adalah hidupku.

Ca, mungkin di dunia ini kita bukan jodoh, tapi percayalah semua waktu yang kita habiskan bersama adalah yang terindah dalam sisa hidupku. Aku sedih saat aku mendengar dokter memvonis ku hidup tak lama lagi. Tapi karena dirimu aku menjadi lebih kuat. Maafin aku ya kalo sewaktu kita pacaran, aku tak dapat menjadi sesuai dengan idola kamu. Aku sangat mencintai kamu Ca, melebihi apapun di dunia ini.

Aku tunggu kamu di surga-Nya, I love you now and forever.

Salam penuh cinta,

Sultanmu.

Air mata Cahya kembali menderas bahkan isakan demi isakan terdengar begitu kencang. Ia tak peduli ia mendapat hukuman nanti, yang ada di pikirannya sekarang adalah Sultannya. Cahya berlari kencang menuju kelasnya mengambil tas dan segera ke parkiran membawa mobilnya keluar dari gerbang sekolah ini. Sultan tunggu aku, batinnya berkata.

TBC!!!

MY HOPE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang