T I G A B E L A S

85 8 0
                                    

"Jelasin dari mana lo dapat informasi itu," tuntut Imel kepada Cahya dengan mata yang menyorot ketegasan. Ia menatap tajam Cahya yang hanya menatap Imel dengan wajah sendunya. Ia butuh kekuatan saat ini, bukan penjelasan. Cahya benar benar tak sanggup jika harus menjelaskannya sekarang.

"Kasih gue waktu, gue bakalan jelasin, gue butuh dukungan kalian bukan penjelasan yang kalian tuntut ke gue, gue ini sekarang hancur, lihat gue, Mel, Fir, apa yang lo lihat sekarang, mata sembab?, air mata?, hidung merah?, kalian itu orang yang masih gue anggap sahabat. Tolong ngertiin posisi gue sekarang," kini suara Cahya bukan lagi meninggi seperti tadi, malah kini lirihan yang dapat Fira dan Imel dengar. Dengan sigap, keduanya memeluk dan mengelus pelan punggung Cahya, berusaha memberikan segenap kekuatan pada Cahya. Mereka mengerti keadaan Cahya. Cahya yang rapuh, Cahya yang perih, Cahya yang redup tak terang bak mentari. Cahya yang butuh kekuatan untuk bangkit kembali.

"Iya kita ngertiin lo kok Ca," ucap Imel di sela sela ia mengelus pelan punggung lemah Cahya. Cahya hanya dapat menangis dan menangis antara sedih dan bahagia, ia tak tahu.

"Gue bakalan cerita dan jelasin semuanya kalo gue udah siap," Cahya menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan indah bak pelangi setelah diterpa sang badai. Melihat itu, sontak saja Imel dan Fira tak ingin ketinggalan untuk tersenyum bersama Cahya.

"Iya kita bakalan nunggu kok sampai lo bener bener siap buat jelasin semuanya," ujar Fira dengan nada penuh kelembutan dan kelirihan melihat sahabatnya yang jatuh.  Dan perbaiki persahabatan ini, batin Fira dengan tegasnya.

"Yaudah yuk balik lagi ke kelas habis ini pelajaran Pkn udah habis,"Fira dan Cahya hanya mengangguk pelan mendengar peringatan Imel. Mereka bertiga beriringan berjalan menuju kelas mereka, XI Ipa 1. Kini Fira dan Imel harus dapat mengatur siasat menyatukan kembali persahabatan indah mereka dulu, mengembalikan rasa kedua sahabatnya yang kini redup dan hilang ditelan sang bumi. Semoga persahabatan yang dibangun dengan merajut ada bersama dulu dapat memancarkan sinarnya kembali. Semoga saja.

***

Manik mata Fira menangkap manik mata Izah yang memandang kosong ke arah papan tulis. Ia tahu Izah juga butuh kekuatan sama seperti Cahya, keduanya sama sama hancur. Ia tak ingin hal ini terjadi pada persahabatan mereka.

Ia ingin badai ini segera berlalu dan tak kan kembali lagi, sekelabat tawa mereka bersama dulu kala muncul di benak dan fikiran Fira. Bagaimana caranya untuk mengembalikan keadaan semula dulu?, tolong berikan Fira jawaban.

Ia tersenyum simpul dan melangkahkan kakinya menuju meja Izah, memberikan sedikit lelucon. Setidaknya ia memberikan kehangatan sedikit kepada Izah. Ia tahu Izah saat ini sangat membutuhkan itu.

"Zah," Izah mendongakkan kepalanya menatap wajah Fira dengan sendu. Hati Fira tersentil melihat wajah sendu milik Izah, seperti wajah sendu Cahya saat ia meminta penjelasan. Rapuh dan hancur.

"Gue ada teka teki lucu nih, nanti kalo garing, pokoknya lo harus ketawa ya," Izah tersenyum kecil seraya mengangguk pelan.

"Tukang apa yang kalo dipanggil natap ke atas," kedua sudut Fira sontak menarik dan membentuk sebuah lengkungan nan indah. Matanya bersinar menatap Izah yang kini tampak berpikir keras. Ia menatap langit langit kelas mencoba mencari jawaban dari pertanyaan Fira. Ia menyerah, ia tak tahu apa jawabannya.

"Apa dong, gue gak tahu," Izah menggeleng pelan ke arah Fira yang dibalas dengan senyuman yang tulus.
"Tukang gali kuburan," Fira tertawa dengan diikuti oleh tawaan Izah. Ya, dia berhasil, berhasil setidaknya memberi sedikit kehangatan pada Izah.

Bel pergantian jam pun berbunyi dengan jelasnya, kini kelas XI Ipa 1 mendapat giliran pelajaran Biologi, Fira pun dengan segera kembali ke tempat duduknya yang pada saat itu Cahya sudah duduk di sebelahnya. Ia tersenyum simpul ke arah Fira, Fira pun menatap Cahya seolah menransfer sumber kekuatannya pada Cahya. Langkah seseorang terdengar hingga ke dalam ruangan kelas XI Ipa 1, dan muncullah sosok Bu Dari, sang guru favorit dengan metode pelajarannya yang membuat muridnya mudah untuk memahami materi yang diterima. Pelajaran Biologi pun berjalan dengan lancar tanpa halangan sedikit pun.

***

Fira menatap kosong jalanan yang ada di hadapannya saat ini, pikirannya melabuh jauh entah kemana. Bayangan akan secercah kenangan bersama sang sahabat melintas begitu saja dalam benaknya bersamaan dengan runtuhnya tali persahabatan itu. Rasanya Fira tak tahu apa yang harus ia lakukan agar dapat menyatukan semuanya seperti dulu kala.

Suara klakson motor besar milik Hakim membuat Fira tersentak dari lamunannya. Ia menatap kelopak mata Hakim dengan senyum yang merekah di kedua sudut bibirnya bersamaan dengan degub jantungnya yang kembali berdetak tak karuan. Hakim membuka helm fullface yang menutup sebagian wajah tampannya, ia menyibakkan jambulnya membuat sensasi tersendiri bagi Fira.

"Pulang bareng?" tawar Hakim yang langsung diangguki oleh Fira. Ia berjalan ke arah motor besar Hakim dan segera menaikinya.

"Tunggu dulu, pakai jaket ini, gue gak mau nikmat tuhan dilihat sama orang asing," Hakim menyodorkan sebuah jaket tebal miliknya ke Fira. Fira mengangguk sejenak lalu melilit kedua lengan jaket tersebut pada pinggangnya.

Hakim pun mulai melajukan motornya di atas aspal hitam jalanan Jakarta yang tampak mengalami kemacetan yang lumayan ramai. Namun, dengan sigap Hakim melewati celah demi celah yang dapat motornya jangkau.

Setelah dua puluh menit melaju, akhirnya motor Hakim memasuki kawasan perumahan rumah Fira. Fira pun dengan segera menginjakkan kakinya turun dari motor besar Hakim. Bagi Fira, hal yang paling membuatnya ribet selain rumus fisika adalah membuka helm yang sedari tadi ia kenakan.

Hakim yang melihat gelagat Fira pun dengan telaten membantunya melepaskan helm yang ia kenakan. Tetapi ada satu hal yang Hakim lihat saat Fira dengan susah payah membuka helmya, ekspresi lucu Fira yang berhasil menimbulkan degub jantung tak teratur di benak Hakim. Lagi dan lagi, perasaan itu ia terus mengingat sepenggal kenangan yang mengharuskannya untuk tak kembali memberikan secercah perasaan kepada seseorang. Namun apakah perasaan yang Hakim rasakan saat ini adalah rasa cinta atau hanya sekedar rasa nyaman yang datang bagai angin lalu?, Hakim tak mengerti.

"Gue duluan ya kak, makasih atas tumpangannya," Fira menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk sebuah lengkungan yang seindah pelangi. Hakim mengangguk pelan seraya menghidupkan kembali mesin motor yang sebelumnya sempat ia matikan. Hakim pun kembali melajukan motornya meninggalkan Fira yang masih terpaku di depan gerbang rumahnya.
Rasa senang dan nyaman yang bersamaan dengan rasa entah Fira pun tak tahu kembali menghinggapi hatinya. Degupan jantungnya seakan tak bisa bergerak dengan normalnya. Hakim benar benar berarti bagi seorang Alfira Syaila Natasha.

TBC!!!

MY HOPE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang