E N A M B E L A S

83 8 1
                                    

"Gue duluan," Fira beranjak dari kursinya melangkahkan kakinya meninggalkan Hakim dan Arnas yang masih berperang pikiran. Semangkuk bakso dengan cepat ia melahap nya guna cepat cepat pergi dari kantin ini.

"Gue ikut," Arnas kembali menyambar tangan Fira menggenggamnya erat. Hakim yang melihat itu menggertakkan giginya tak suka seraya merebut tangan Fira dari genggaman tangan Arnas.

"Dia sama gue."

"Lo punya hak apa sih selain sebagai kakak kelasnya," ucapan Arnas barusan mampu membuat Hakim naik pitam. Hakim semakin mempererat genggaman tangannya pada Fira, jantung Fira seakan ingin keluar dari tubuhnya.

"Gue lebih berhak atas Fira dari yang lo kira," ucap Hakim dengan nada penuh ketegasan. Kini ketiganya menjadi pusat perhatian para pengunjung kantin. Fira hanya dapat menelan salivanya pasrah. Kedua orang ini seperti tak tahu tempat saja.

"Pokoknya Fira sama gue," gertak Arnas membawa tubuh Fira di balik tubuh tegap miliknya. Hakim tentu saja tak bisa menerimanya, dengan cepat ia menarik tangan Fira agar tak berpaling darinya.

"Apaan sih lepasin gak tangan gue," teriak Fira tak terima tangannya menjadi rebutan Hakim dan Arnas. Siapa mereka buat Fira, ya walau pun hati Fira merasa menghangat kala tangannya digenggam erat oleh Hakim. Ia mengepalkan tangannya yang baru saja digenggam oleh Hakim, basah, dingin dan sedikit gemetaran. Reaksi yang tak pernah Fira bayangkan sebelumnya.

"Gue bisa jalan sendiri," Fira menghentakkan kakinya kasar dan melangkahkan kakinya meninggalkan Hakim dan Arnas yang memandang ke arah punggung miliknya.

"Siapa lo," tanya Arnas masih tak terima kesewenang wenangan Hakim yang tiba tiba saja merebut Fira.

"Gue kakak sekaligus sahabat Fira," Arnas berdecih mendengarkan penuturan Hakim. Ia menyunggingkan senyuman miring ke arah Hakim seraya membisikkan sesuatu membuat hati Hakim patah seketika.

"Gue  suka sama dia," Arnas berlalu meninggalkan Hakim yang masih mematung. Kenapa hatinya terasa nyeri, namun lagi dan lagi Hakim menepis perasaan itu tapi hatinya masih saja terasa nyeri. Ia mengepalkan kedua tangannya sembari menggertakkan rahang tegasnya.

***

Manik mata Fira ia arahkan ke segala sudut di dalam ruangan kelas. Satu hal yang ia herankan, tas milik Cahya yang semula bertengger di kursi sebelah kursinya kini tiada lagi.

"Cahya kemana?" Tanya Fira kepada Imel yang kini berkutik dengan sapu digenggamannya. Ia mendongak mendapati Fira yang sudah berdiri di hadapannya.

"Oh Fir, tadi gue cuma lihat Cahya kayak terburu buru gitu sambil bawa tasnya, waktu gue tanya dia gak jawab, tapi matanya itu sembab kayak habis nangis gitu Fir, gue jadi khawatir deh sama Cahya," raut wajah Imel sontak saja berubah, ia menatap sendu Fira seolah olah ikut merasakan apa yang kini Cahya rasakan.

"Dia izin sama guru gak," tanya Fira yang langsung mendapat gelengan dari Imel. Fira mengusap kasar wajahnya, kini ia tak bisa berbohong bahwa ia khawatir akan keadaan sahabatnya itu.

"Terus keadaan Izah gimana."

"Izah sekarang lebih banyak diam dan melamun, tapi Evan selalu ada di sampingnya. Sekarang sih Izah lagi di perpustakaan sama Evan," Fira mengangguk paham mendengar pernyataan Imel. Ia berlalu lalang meninggalkan Imel ke tempat duduknya semula sembari menangkupkan wajahnya ke dalam lipatan kedua tangan yang sudah ia buat.

Rasa kantuk menerjang kedua kelopak matanya. Ia memejamkan matanya sebentar berusaha mengusir sedikit saja rasa kantuknya.

MY HOPE [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang